Senin, 16 Februari 2009

Pengaruh Suplementasi Mineral (Na, Ca, P, Cl) Dalam Ransum Terhadap Produksi Telur Puyuh (Cortunix-Cortunix Japonica)

Yunilas, Zulfikar Siregar dan Noven Wenthy NS (2007). Pengaruh suplementasi mineral (Na, Ca, P, Cl) dalam ransum terhadap produksi telur puyuh (Cortunix-cortunix japonica). Dalam: Jurnal Agribisnis Peternakan FP USU. Medan Vol. 3 N0. 2 Agustus 2007. hal. 61 – 65.

Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh suplementasi mineral (Na, Ca, P, Cl) dalam ransum terhadap konsumsi ransum, konversi ransum, produksi telur puyuh (Cortunix-cortunix japonica). Rancangan yang digunakan adalah rancangan acaklengkap (RAL) dengan 5 perlakuan dan 4 ulangan, setiap ulangan terdiri dari 3 ekor puyuh betina sehingga jumlah keseluruhan 60 ekor. Perlakuan terdiri dari R0 = Kontrol (pakan produksi Charoen Pokhpand Indonesia), R1 = R0 + 37,5 g Ca + 0.00035 g Na, R2 = R0 + 75 g Ca + 0.00070 g Na, R3 = R0 + 10 g P + 0.00015 g Cl dan R4 = R0 + 20 g P + 0.00030 g Cl. Parameter yang diamati meliputi konsumsi ransum, konversi ransum, dan produksi telur. Berdasarkan analisis keragaman diperoleh hasil bahwa suplementasi mineral (Na, Ca, P, Cl) dalam ransum tidak berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap konsumsi ransum, konversi ransum, produksi telur puyuh (Cortunix-cortunix japonica). Walaupun suplementasi mineral (Na, Ca, P, Cl) dalam ransum memberi hasil tidak berbeda nyata, namun pada perlakuan R2 (R0 + 75 g Ca + 0.00070 g Na) menunjukan hasil lebih baik dari pada perlakuan lainnya yaitu produksi telur cenderung meningkat dan konversi ransum cenderung menurun.

Kata kunci: suplementasi mineral, produksi telur, puyuh

Pendahuluan

Puyuh merupakan salah satu komoditi unggas yang semakin populer di masyarakat. Hal ini terbukti dengan banyaknya masyarakat yang berminat untuk memelihara puyuh dan meningkatnya masyarakat yang mengkonsumsi produk-produk yang dihasilkan dari ternak puyuh karena dinilai memiliki kandungan protein yang tinggi, terutama telur yang merupakan produk utama dari puyuh.Secara garis besar yang mempengaruhi produksi telur adalah faktor genetik, pakan, kualitas ransum, konsumsi ransum, keadaan kandang, temperatur, penyakit dan stress (Yasin, 1988). Rasyaf (1995) juga mengemukakan bahwa faktor ransum sangat perlu diperhatikan terutama zat-zat yang terkandung dalam ransum yang diberikan karena dapat mempengaruhi produksi telur.

Kenyataannya dalam penyusunan ransum yang sering diperhatikan adalah kandungan energi dan proteinnya. Selain energi dan protein kandungan mineral dalam ransum juga perlu diperhatikan. Aggorodi (1985) menyatakan bahwa mineral ebagai zat makanan diperlukan tubuh sama halnya seperti asam amino, energi, vitamin, asam lemak. Mineral digunakan untuk propses metabolisme dalam tubuh. Defisiesi suatu mineral jarang menyebabkan kematian tetapi berpengaruh langsung terhadap kesehatan ternak dan berdampak pada penurunan produksi telur sehingga dapat menyebabkan kerugian besar. Salah satu upaya yang diusahakan adalah dengan suplementasi mineral makro, mineral mikro dan mineral langka dalam ransum.

Mineral makro seperti Ca, P, K, Cl, S, Na, dan Mg dan mineral mikro seperti Fe, I, Zn, Cu, Mn, Co, Se dan Mo diperlukan oleh ternak dalam jumlah cukup. Kekurangan mineral dalam ransum dapat berpengaruh pada pertumbuhan puyuh, penurunan produksi telur dan kanibalisme yang dapat menurunkan produksi secara keseluruhan (McDonald, et al., 1995).
Tillman (1991) menyatakan bahwa absorpsi diantara zat-zat mineral pada kenyataaanya terjadi persaingan. Suplementasi beberapa mineral serigkali menganggu penyerapan mineral lainnya, sebagai contoh siplementasi Ca yang berlebihan di dalam ransum dapat menekan absorpsi mineral zinkum (Zn) padahal Zn berperan besar dalam proses metabolisme tubuh, sistem tubuh dan defisiensi Zn dapat mengakibatkan gangguan pada pemasakkan gonad pada proses reproduksi seperti pembentukan telur.

Natrium adalah merupakan kation utama air laut maupun cairan ekstrasellulae. Hewan yang mendapat ransum yang defisiensi natrium, tidak hanya terganggu pertumbuhannnya, tetapi tulang-tulangnya menjadi lunak, kornea bertanduk, perubahan dalam funsi selullar dan penurunan dalam isi cairan plasma. Pada unggas defisiensi natrium mengakibatkan produksi telur menurun, pertumbuan terhambat dan kanibalisme (Anggorodi, 1995). Wahyu (1997) menambahkan bahwa defisiensi natrium dapat mengurangi penggunaan protein dan energi, menghambat daya reproduksi serta menyebabkan diare dan pengeluaran urin yang banyak sebagai akibat kerusakan ginjal dan adrenal.
Kriteria kecukupan kalsium pada ayam petelur terlihat pada produksi telur, pemanfaatan bahan pakan, kualitas kulit telur dan keadaan dari cadangan kalsium dalam tulang (Georgievskii, et al, 1982). Ca dan P juga sangat berperan bagi pembentukkan tulang-tulang pada puyuh sedang bertumbuh dan berperan pada pembentukkan kulit telur puuh yang sedang berproduksi (Rasyaf, 1984).
Klor merupakan bagian sekresi lambung. Peranan utama klor adalah pengontrol keseimbangan asam dan basa dan mengatur tekanan osmotik. Sejumlah kecil klor disimpan dalam kulit dan jaringan-jaringan bawah kulit. Defisiensi klor pada unggas memperlihatkan gejala-gejala laju pertumbuhan terganggu yang disebabkan nafsu makan berkurang, kematian tinggi, dehidrasi dan kadar klor darah yang menurun (Anggorodi, 1985).

Secara ideal suplementasi mineral harus dilakukan jika kebutuhan mineral untuk ternak tidak terpenuhi dari pakan yang diberikan. Untuk melakukan suplementasi mineral diperlukan pengetahuan mengenai komposisi mineral dari bahan-bahan ransum yang digunakan. Dalam prakteknya, suplementasi mineral dilakukan secara rutinpada ransum yang disusun oleh peternak sendiri maupun secara komersil (pabrik pakan ternak) sebagai jaminan atau untuk antisifasi terhadap berkurangnya ketersedianan mineral dalam ransum (McDowell, 1992).


Bahan dan Metode Penelitian

Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biologi Ternak Jl. Prof. Dr. A. Sofyan No. 3 Departemen Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara selama 8 minggu.

Bahan dan Alat Penelitian
•Burung puyuh betina umur 6 minggu sebanyak 60 ekor.
•Ransum komersil dari PT. Charoen Pokhpand Indonesia.
•Na2CO3, CaCO 3, (NH4)3PO4, NH4Cl sebagai bahan mineral yang akan diteliti.
•Vitamin dan antibiotik seperti Puyuh-Vit dan Ciami
•Vaksin ND
•Formalin untuk fumigasi
•Rodalon untuk densifektan
•Peralatan yang terdiri dari kandang 20 unit ( 60 x 40 x 20 cm/unit), tempat makan dan minum, lampu, timbangan, termometer, hand sprayer.

Metode Penelitian

Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) yang terdiri dari 5 perlakuan dan 4 ulangan.
Perlakuan yang diteliti adalah:
R0 = Kontrol (pakan produksi Charoen Pokhpand Indonesia),
R1 = R0 + 37,5 g Ca + 0.00035 g Na
R2 = R0 + 75,0 g Ca + 0.00070 g Na
R3 = R0 + 10,0 g P + 0.00015 g Cl
R4 = R0 + 20,0 g P + 0.00030 g Cl

Parameter yang diamati

a.Konsumsi ransum (g / ekor / mgg)
Konsumsi ansum dihitung dari jumlah ransum yang diberikan ( gram ) dikurangi dengan sisa ransum
selama seminggu.

b.Produksi telur (%)
Produksi telur dihitung dari perbandingan jumlah telur yang dihasilkan dalam satu minggu dengan
jumlah puyuh betina yang ada dikali seratus persen.

c.Berat Telur (g)
Berat telur ditimbang setiap hari dari perbandingan jumlah seluruh berat telur dengan jumlah
telur/ploat.

d.Konversi Ransum
Konversi ransum dihitung berdasarkan perbandingan konsumsi ransum dengan berat telur yang
dihasilkan selama seminggu.

Hasil Penelitian
Pengaruh suplementasi mineral (Na, Ca, P, Cl) dalam ransum terhadap produksi telur puyuh (Cortunix-cortunix japonica) dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Pengaruh suplementasi mineral (Na, Ca, P, Cl) dalam ransum terhadap produksi telur puyuh
(Cortunix-cortunix japonica)

Perlakuan Konsumsi(g/ekor/mgg) Prod.Telur (%) Berat Telur (gram) Konversi Ransum
R0 176.28 tn 55.10 tn 10.12 tn 1.60 tn
R1 173.46 tn 59.69 tn 9.96 tn 1.58 tn
R2 171.80 tn 67.35 tn 10.02 tn 1.25 tn
R3 170.16 tn 64.46 tn 10.03 tn 1.39 tn
R4 170.69 tn 63.44 tn 10.34 tn 1.29 tn

Minggu, 15 Februari 2009

Pengaruh Pemberian Tepung Daun Kelapa Sawit yang Difermentasi Aspergillus niger Terhadap Karkas Kelinci Lokal Jantan Umur 16 Minggu

Wendi L.Hutajulu dan Yunilas (2007). Pengaruh Pemberian Tepung Daun Kelapa Sawit Yang Difermentasi Aspergillus Niger Terhadap Karkas Kelinci Lokal Jantan Umur 16 Minggu. Dalam: Jurnal Agribisnis Peternakan FP USU. Medan Vol. 3 N0. 2 Agustus 2007.hal. 75 – 79.


Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh pemberian tepung daun kelapa sawit yang difermentasi Asfergillus niger dalam ransum terhadap karkas kelinci lokal jantan umur 16 minggu. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) yang terdiri dari 5 perlakuan dan 5 ulangan, dan setiap ulangan terdiri dari 1 ekor kelinci. Perlakuan tediri dari dari R0 = rumput lapangan + konsentrat tanpa tepung daun kelapa sawit fermentasi, R1 = rumput lapangan + konsentrat dengan 5 % tepung daun kelapa sawit fermentasi, R2 = rumput lapangan + konsentrat dengan 10 % tepung daun kelapa sawit fermentasi, R3 = rumput lapangan + konsentrat dengan 15 % tepung daun kelapa sawit fermentasi, R4 = rumput lapangan + konsentrat dengan 20 % tepung daun kelapa sawit fermentasi. Parameter yang diamati adalah bobot potong, bobot karkas, persentase karkas dan panjang usus. Berdasarkan analisis statistik diperoleh hasil bahwa pemberian tepung daun kelapa sawit yang difermentasi Aspergillus niger tidak berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap bobot potong, bobot karkas, persentase karkas dan panjang usus. Walaupun hasil yang diperoleh tidak berbeda nyata namun pemberian tepung daun sawit yang difermentasi Asfergillus niger sampai level 20% cenderung menurunkan bobot potong, bobot karkas, persentase karkas kelinci lokal jantan umur 16 minggu.

Kata kunci: daun kelapa sawit, asfergillus niger, karkas, kelinci

Selasa, 10 Februari 2009

Imbangan Protein Hewani Dan Nabati Dalam Formulasi Ransum Broiler

Protein adalah zat organik yang mengandung unsur karbon, hidrogen, nitrogen, oksigen, sulfur dan fosfor. Protein merupakan zat makanan utama yang mengandung nitrogen. Protein ini merupakan zat nutrisi yang esensial bagi kehidupan karena merupakan protoplasma aktif dalam semua sel hidup. Untuk memenuhi kebutuhan hidup ayam broiler ada beberapa kandungan zat nutrisi yang perlu diperhatikan antara lain: protein, lemak, karbohidrat, vitamin, dan mineral. Protein sangat penting karena diperlukan untuk memperbaiki jaringan tubuh, pertumbuhan jaringan baru, metabolisme zat-zat vital dalam fungsi tubuh, pembentukan enzim-enzim esensial bagi fungsi tubuh dan hormon-hormon tertentu.

Dalam memformulasi ransum unggas (broiler) disamping memperhatikan imbangan antara protein dan energi ternyata kita perlu juga memperhatikan imbangan protein penyusun ransum itu sendiri. Hal ini disebabkan protein dalam formulasi ransum ada yang berasal dari protein hewani dan protein nabati.

Protein dalam ransum biasanya bersumber dari protein nabati dan protein hewani. Protein hewani lebih unggul dari pada protein nabati karena protein hewani mengandung asam-asam amino esensial yang sempurna dan seimbang. Disamping itu, protein hewani memiliki rantai karbon lebih pendek sehingga lebih mudah dicerna, sedang protein nabati mempunyai rantai karbon yang lebih panjang sehingga lebih sulit dicerna.

Sumber protein hewani yang digunakan dalam formulasi ransum unggas (broiler) umumnya berasal dari tepung ikan karena tepung ikan merupakan sumber asam-asam amino serta calsium, phospor yang baik. Sedangkan sumber protein nabati sebagian besar bersumber dari bungkil kedelai disamping bahan pakan lainnya. Dengan adanya kombinasi dari sumber protein yang berasal dari protein hewani dan nabati diharapkan keseimbangan zat-zat makanan yang dibutuhkan dapat terpenuhi karena adanya saling melengkapi diantara kekurangan tersebut.

Ransum akan mengandung 6 – 9 % atau 1/3 bagian protein hewani (bila penggunaan tepung ikan 10 – 15% dengan kandungan protein 60%) dan sisanya 13 – 16 % protein nabati dari total protein dalam formulasi ransum 22%. Perhitungan ini dilakukan untuk mengetahui pada imbangan berapakah penggunaan protein hewani memberi pertumbuhan (pertambahan bobot badan) yang baik guna mencapai hasil yang lebih ekonomis karena protein sumber hewani harganya lebih mahal dibanding nabati.

Berdasarkan hasil penelitian Yunilas (1998), penggunaan berbagai imbangan protein hewani dengan nabati 5/12 bagian (9,16%) R1; 4/12 bagian (7,33%) R2; 3/12 bagian (5,50%) R3 dan 2/12 bagian (3,66%) R4 dari total protein ransum menunjukkan hasil berpengaruh sangat nyata (P<0 data-blogger-escaped-.01="">

Dari gambaran diatas dapat disimpulkan bahwa dalam memformulasi ransum, tidak hanya ditentukan oleh besarnya persentase protein dalam ransum, akan tetapi sangat ditentukan oleh kandungan asam-asam amino esensial yang seimbang. Untuk itu imbangan protein asal hewani dan nabati sangat menentukan karena dapat saling menutupi kekurangan asam-asam amino esensial yang dibutuhkan oleh tubuh.

Sumber :
Yunilas. 1998. Performan Ayam Broiler yang Diberi Berbagai Tingkat Protein Hewani dalam Ransum. Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung.


Yunilas, FP USU Medan

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/20899/1/agp-apr2005-5.pdf 

Pemanfaatan Solid Dekanter Fermentasi Dan Suplementasi Mineral Zinkum Dalam Ransum Terhadap Karkas Itik Peking Umur 12 Minggu.

Yunilas, Sayed Umar, M.Rahmatsyah (2006) Pemanfaatan Solid Dekanter Fermentasi dan Suplementasi Mineral Zinkum dalam Ransum Terhadap Karkas Itik Peking Umur 12 Minggu. Dalam: Jurnal Agribisnis Peternakan FP USU. Medan Vol. 2 N0. 1 April 2006 hal. 1-5.

Abstrak : Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh solid dekanter fermentasi dan suplemen mineral zinkum dalam ransum terhadap karkas Itik Peking umur 12 minggu. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancanga acak lengkap (RAL) faktorial. Terdiri dari 2 faktor, faktor pertama adalah solid dekanter yang difermentasi (S) terdiri dari 5 level (S0=tanpa solid dekanter, S1=5% solid dekanter, S2=10% solid dekanter, S3=15% solid dekanter, S4=20% solid dekanter) faktor ke dua suplementasi mineral zinkum, terdiri dari 3 level (Z0=tanpa zinkum, Z1=60 mg/kg ransum, Z2=120 mg/kg ransum). Parameter yang diamati adalah bobot hidup, bobot karkas dan persentase karkas. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa pemanfaatan solid dekanter fermentasi, mineral zinkum dan interaksi kedua faktor tersebut tidak berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap bobot hidup, bobot karkas dan persentase karkas itik Peking Umur 12 Minggu.
Kata kunci: solid dekanter, mineral zinkum, bobot hidup, bobot karkas, persentase karkas

Yunilas, FP USU Medan

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/15154/1/agp-apr2006-1.pdf 

Potensi Limbah Bulu Ayam Sebagai Bahan Pakan Alternatif Sumber Protein Hewani Dalam Ransum Unggas Oleh: Yunilas

Pendahuluan

Masalah utama dalam peningkatan produksi ternak unggas adalah penyediaan pakan sumber protein hewani (tepung ikan) yang harganya relatif mahal. Untuk memenuhi kebutuhan tepung ikan Indonesia masih mengimport dari luar negeri karena produk dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan yang ada sehingga harganya sangat mahal dibanding bahan pakan lain. Untuk menekan biaya pakan dan mengefisiensikan pakan diusahakan memanfaatkan limbah pertanian ataupun peternakan.

Salah satu produk pengolahan hasil peternakan yang belum dimanfaatkan secara optimal sebagai bahan pakan ternak adalah bulu ayam. Bulu ayam merupakan limbah peternakan yang dapat dijadikan sebagai bahan pakan alternatif pengganti sumber protein hewani dalam formulasi ransum ayam (unggas). Hal ini disebabkan karena bulu ayam memiliki kandungan protein cukup tinggi. Murtidjo (1995), protein kasar tepung bulu ayam mencapai 86,5% dan energi metabolis 3.047 kcal/kg. Demikian juga menurut Rasyaf (1993), bulu ayam mengandung protein kasar cukup tinggi, yakni 82 – 91 % , kadar protein jauh lebih tinggi dibanding tepung ikan.

Bila dlihat dari segi ketersediaannya, tepung bulu ayam sangat potensial dijadikan sebagai bahan pakan alternatif dalam ransum unggas. Ini didukung oleh jumlah pemotongan ayam yang terus meningkat dari tahun ke tahun sehingga menyebabkan ketersediaan limbah bulu ayam terus meningkat. Demikian juga, bila ditinjau dari kandungan proteinnya maka bulu ayam cukup potensial dijadikan sebagai bahan pakan alternatif sumber protein hewani penganti tepung ikan karena mengandung protein cukup tinggi dan kaya akan asam amino esensial. Namun sebagai bahan pakan alternatif, tepung bulu ayam tidak hanya dilihat dari segi ketersediaannya saja tetapi kandungan nutrisinya apakah mendukung untuk digunakan dalam formulasi ransum unggas secara luas.
Sebagai bahan baku pakan ternak, bulu unggas jarang digunakan oleh pabrik pakan ternak unggas. Walaupun mengandung protein cukup tinggi dan kaya asam amino esensial, tepung bulu mempuyai faktor penghambat seperti kandungan keratin yang digolongkan kepada protein serat. Kandungan protein kasar yang tinggi dalam tepung bulu ayam tersebut tidak diikuti oleh nilai biologis yang tinggi. Hal ini menyebabkan nilai kecernaan bahan kering dan bahan organik pada tepung bulu ayam rendah. Nilai kecernaan yang rendah pada tepung bulu ayam disebabkan oleh kandungan keratin. Keratin merupakan protein yang kaya akan asam amino bersulfur, sistin. Keratin sulit dicerna karena ikatan disulfida yang dibentuk diantara asam amino sistin menyebabkan protein ini sulit dicerna oleh ternak unggas, baik oleh mikroorganisme rumen maupun enzim proteolitik dalam saluran pencernaan pasca rumen pada ternak ruminansia.

Keratin dapat dipecah melalui reaksi kimia dan enzim, sehingga pada akhirnya dapat dicerna oleh tripsin dan pepsin di dalam saluran pencernaan. Sehingga bila tepung bulu ayam digunakan sebagai bahan pakan sumber protein, sebaiknya perlu diolah terlebih dahulu untuk meningkatkan kecernaannya. Nilai biologis tepung bulu ayam dapat ditingkatkan dengan berbagai pengolahan dan pemberian perlakuan yang benar.

Ada beberapa metode pengolahan untuk meningkatkan nilai nutrisi tepung bulu ayam:
1) Perlakuan Fisik Dengan Pengaturan Temperatur Dan Tekanan,
2) Secara Kimiawi Dengan Penambahan Asam Dan Basa (Naoh, Hcl),
3) Secara Enzimatis Dan Biologis Dengan Mikroorganisme,
4) Kombinasi ketiga metode tersebut.

Penggolahan Melalui Perlakuan Fisik dengan Pengaturan Temperatur dan Tekanan

Tepung bulu direbus dalam wajan tertutup dengan tekanan 3,2 atmosfer selama 45 menit dan dikembalikan pada tekanan normal selama periode tersebut. Setelah itu dikeringkan pada temperatur 600C dan digiling hingga halus. Hasil penggolahan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Analisis Asam-asam amino dan Nitrogen pada Tepung bulu Terolah (gr/16 nitrogen)*

Asam Amino T.bulu tanpa diolah T.Bulu dg “Pemasakkan” Bertekanan
Lysine 2.22 2.08
Methionin 0.83 0.72
Cystine 9.02 6.29
Methionin+Cystine 9.85 7.01
Asam Aspartat 6.71 6.58
Threonine 5.21 4.84
Serine 12.52 11.81
Asam Glutamat 12.11 11.91
Glycine 7.92 7.54
Alanine 4.29 4.30
Valine 7.97 7.25
Isolucine 5.25 4.82
Leucine 8.40 8.05
Tyrosine 3.11 2.48
Phenylalanine 4.91 4.61
Histidine 0.80 0.72
Arginine 7.08 6.15
Tryptophan 0.86 0.73
Nitrogen, % B.K 15.43 15.38

Sumber: Pond dan Maner (1974)

Pengolahan Secara Kimiawi / Hidrolisis

Pengolahan secara kimiawi diolah dengan proses NaOH 6 % dan dikombinasikan dengan pemanasan tekanan memberikan nilai kecernaan 64,6 %. Lama pemanasan juga dapat meningkatkan kecernaan pepsin tepung bulu ayam hingga 62,9 %. Namun, pemanasan yang terlampau lama dapat merusak asam amino lisin, histidin dan sistin serta menyebabkan terjadinya reaksi kecoklatan (browning reaction). Kandungan nutrisi tepung bulu terolah tertera pada Tabel 2 di bawah ini.

Tabel 2. Kandungan Nutrisi Tepung Bulu Terolah/ Terhidrolisa
Nutrisi Kandungan
Protein Kasar, % 85
Serat Kasar, % 0,3 – 1,5
Abu, % ,0 – 3,5
Calsium, % 0,20 – 0,40
Phospor, % 0,20 – 0,65
Garam, % 0,20
Sumber: McDonald et al (1989) dan Pond and Manner (1974)

Tehnik pengolahan kombinasi antara perlakuan fisik dan kimia merupakan teknik pengolahan yang saat ini bayak dipakai oleh industri TBA. Sejauh ini penggunaan tepung bulu tidak lebih dari 4 % dari total formulasi ransum unggas tanpa membuat produktivitas unggas merosot. Namun penggunaan dengan level yang lebih tinggi sangat diharapkan agar diperoleh ransum yang lebih ekonomis. Semakin baik pengolahannya, maka akan semakin baik pula hasilnya. Untuk itu penelitian-penelitian lebih lanjut sangat diharapkan seperti penggolahan secara enzimatis melalui fermentasi tepung bulu ayam menggunakan berbagai sumber enzim proteolitik.

Kesimpulan
1.Tepung bulu ayam dapat dijadikan sebagai bahan pakan sumber protein hewani di dalam ransum pendamping tepung ikan.
2.Guna meningkatkan penggunaannya perlu penelitian berkaitan dengan pengolahan-penggolahan secara enzimatis dengan memanfaatkan berbagai sumber bakteri proteolitik.
3.Pemanfaatan lebih luas merupakan salah satu strategi dalam mengatasi pencemaran lingkungan yang disebabkan produksi limbah bulu ayam yang terus meningkat.


Sumber Pustaka

Murtidjo, B.A. 1995. Pedoman Meramu Pakan Unggas. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Pond,W.G and J.H. Manner. 1974. Swine Production in Temperate and Tropical Environments. W.H.
Freman and Company. San Fransisco.

Rasyaf, M, 1993. Bahan Makanan Unggas di Indonesia. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.


Yunilas, FP USU Medan

Kamis, 05 Februari 2009

Formulasi Bahan Pelapis Edibel dan Lama Penyimpanan Terhadap Kualitas Daging Sapi

Yunilas, Eniza Saleh, Anwar Mahmud (2007). Formulasi Bahan Pelapis Edibel dan Lama Penyimpanan Terhadap Kualitas Daging Sapi. Dalam: Jurnal Agribisnis Peternakan FP USU. Medan Vol. 3 N0. 1 April 2007 hal. 1-7.

Abstrak : Penelitian ini bertujuan untuk menguji kemampuan lapisan edibel dari asam stearat dan tepung tapioka dan pengaruh lama menyimpan terhadap kualitas daging sapi. Daging yang digunakan adalah daging sapi bagian paha yang dipotong-potong (2cm x 3cm x 4cm). Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap pola faktorial. Faktor I (T) adalah konsentrasi asam stearat dan tepung tapioka yaitu T0 tanpa asam stearat dan tapioka, T1 0.05% asam stearat dan 1 % tepung tapioka, T2 0,1% asam stearat dan 1% tepung tapioka, T3 0.05% asam stearat dan 2% tepung tapioka, T4 0.1% asam stearat dan 2% tepung tapioka. Faktor II (H) adalah lama penyimpanan yaitu H1 penyimpanan 3 hari, H2 penyimpanan 6 hari H3 penyimpanan 9 hari, disimpan pada lemari pendingin suhu - 6 0C. Parameter yang diamati adalah kadar air, kadar protein dan kadar lemak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelapis bahan edibel (asam stearat dan tepung tapioka) dan lama penyimpanan berpengaruh sangat nyata (P<0.01)>