Minggu, 16 Agustus 2009

POTENSI LIMBAH KAKAO SEBAGAI PAKAN TERNAK

Produksi kakao di Indonesia cenderung meningkat seiring dengan program pemerintah dalam pengembangan tanaman kakao. Selama lima tahun terakhir ini produksi kakao terus meningkat sebesar 7,14% pertahun atau 49.200 ton pada tahaun 2004 (Baharuddin, 2007). Jika proporsi limbah mencapai 74 % dari produksi, maka limbah kulit buah kakao mencapai 36.408 ton per tahun. Hal ini merupakan suatu potensi yang sangat besar untuk dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak.

Kulit buah kakao merupakan hasil samping dari pemprosesan biji coklat dan merupakan salah satu limbah dari hasil panen yang sangat potensial untuk dijadikan salah satu bahan pakan ternak. Kulit buah kakao dapat menggantikan sumber-sumber energi dalam ransum tanpa mempengaruhi kondisi ternak (Smith dan Adegbola, 1982).

Limbah kulit buah kakao ini memiliki peranan yang cukup penting dan berpotensi dalam penyediaan pakan ternak ruminansia khususnya kambing, terutama pada musim kemarau. Kulit buah kakao dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak dalam bentuk segar maupun dalam bentuk tepung yang telah diolah. kandungan gizi Kulit buah kakao (Shel food husk) terdiri dari 88 % BK, 8 % PK, 40 % SK, 50,8 % TDN, dan penggunaannya oleh ternak ruminansia 30-40 % (Sunanto,1994).

Hasil penelitian menunjukkan kulit buah kakao segar yang dikeringkan dengan sinar matahari kemudian dicincang dan selanjutnya dapat digunakan sebagai pakan ternak (Baharuddin, 2007). Namun, pemberian limbah kulit buah kakao secara langsung pada ternak justru akan menurunkan berat badan ternak, sebab kadar protein kulit buah kakao rendah, sedangkan kadar lignin dan selulosanya tinggi. Oleh karena itu sebaiknya sebelum digunakan sebagai pakan ternak perlu difermentasikan terlebih dahulu untuk menurunkan kadar lignin yang sulit dicerna oleh hewan dan untuk meningkatkan nilai nutrisi yang baik tapi ada batasan konsentrasi penggunaannya karena mengandung seyawa anti nutrisi theobromin.

Kulit buah kakao mengandung alkaloid theobromin (3,7 – dimethylxantine) yang merupakan factor pembatas pada pemakaian limbah kakao sebagai pakan ternak. Smith dan Adegbola (1982) menyatakan kandungan nutrisi kulit buah kakao: Bahan kering 84,00 – 90,00, Protein kasar 6,00 – 10,00, Lemak 0,50 – 1,50, Serat kasar 19,00 – 28,00, Abu 10,00 – 13,80 dan BETN 50,00 – 55,60 sedangkan Amirroenas (1990) menyatakan kandungan bahan kering 91,33, protein kasar 6,00, lemak 0,90, serat kasar 40,33 abu 14,80 BETN 34,26 dan Roesmanto (1991) bahwa bahan kering 90,40, protein kasar 6,00, lemak 0,90 serat kasar 31,50, abu 16,40, Kalsium 0,67 dan Pospor 0,10.

Kandungan Theobromin (%) pada Bagian-Bagian Buah Kakao yaitu kulit buah 0,17 - 0,20; kulit biji 1,80 – 2,10 dan biji 1,90 – 2,0 (Wong, dkk 1988). Rantan (2004) menyatakan bahwa limbah kakao dapat digunakan sebagai pakan ruminansia, cocok sebagai pakan tambahan protein pada pakan basal karena mengandung protein kasar tinggi 14-22%, serat kasar relatif rendah (13-26%) tetapi mengandung lemak tinggi (3 – 9%) yang kurang baik bagi proses pencernaan (Abdulsamin dan tangendjaja (1989), Mahyudin dan Bakri (1992), Haryati dan Sutikno (1994), Oba dan Allien (2000).

Limbah kakao (kulit dan plasenta) mengandung serat, protein, lemak serta sejumlah asam organik dan berpotensi menjadi bahan pakan ternak kambing. Agar dapat diberikan dalam jumlah yang optimal maka kulit buah kakao perlu diolah terlebih dahulu sebelum diberikan pada ternak. Sianipar (2007) menyatakan, penggolahan limbah kulit buah kakao sebagai silase dapat meningkatkan kecernaan bahan kering dan protein, juga dapat disimpan relatif lama (2 – 3 bulan) dan penggunaan optimal sebesar 20% bahan kering dalam ransum atau sebesar 60% dalam pakan penguat sebagai pakan kambing lokal sedang tumbuh.

Limbah dari kulit buah kakao dapat dibuat pakan ternak dengan kandungan nilai gizi tinggi melalui proses fermentasi. Berdasarkan hasil penelitian BPTP Bali, anak kambing PE yang hanya diberikan hijauan, pertumbuhannya rata-rata 65 gram/ekor/hari. Namun bila diberi konsentrat dari limbah kakao terfermentasi dengan dosis yang sama memberikan pertumbuhan 115-120 gram/ekor/hari.

Daftar acuan:
1.Baharuddin, W. 2007. Mengelola Kulit Buah Kakao Menjadi Bahan Pakan Ternak. http://DisnakSulsel.Info/
2. Haryati,T dan A.I. Sutikno. 1994. Peningkatan Kulit Buah Kakao melalui Bioproses dengan Beberapa Jenis Kapang. Jurnal Ilmu dan Peternakan V8(1);34-37

Rabu, 05 Agustus 2009

Pengaruh Pemberian Umbut Sawit Terhadap Karkas Ayam Pedaging

oleh: Yunilas, Roeswandy dan Deni Setiawan Ginting (Jurnal Agribisnis Peternakan, Vol. 4 No 2. Agustus 2008)

Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk menguji pemanfaatan tepung umbut sawit dalam ransum terhadap bobot hidup, bobot karkas dan persentase karkas ayam pedaging umur 8 minggu. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan lima perlakuan dan empat ulangan. Setiap ulangan menggunakan lima ekor ayam. Perlakuannya adalah U0 = tanpa pemberian umbut kelapa sawit, U1 = 5 % tempung umbut kelapa sawit, U2 = 10 % tempung umbut kelapa sawit, U3 = 15 % tempung umbut kelapa sawit, U4 = 20 % tempung umbut kelapa sawit. Parameter yang diamati adalah bobot hidup, bobot karkas, persentase karkas dan income over feed cost (IOFC) ayam pedaging umur 8 minggu. Hasil penelitian menunjukkan rataan bobot hidup tertinggi terdapat pada perlakuan U2 sebesar 2100,83 g/ekor dan terendah pada perlakuan U4 2032,50 g/ekor. Rataan bobot karkas tertinggi terdapat pada perlakuan U2 sebesar 1523,33 g/ekor dan terendah pada perlakuan U4 sebesar 1415,00 g/ekor. Rataan persentase karkas tertinggi terdapat pada perlakuan U2 sebesar 72,56 % dan terendah pada perlakuan U4 sebesar 69,67 %. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa pemanfaatkan umbut sawit dalam ransum tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap bobot hidup, bobot karkas dan persentase karkas ayam pedaging umur 8 minggu, sedangkan nilai IOFC tertinggi diperoleh pada pemberian 10% tepung umbut kelapa sawit (perlakuan U2). Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah umbut sawit dapat diberikan dalam ransum ayam pedaging sampai level 20 %. Pemberian umbut sawit pada level 10% dalam ransum memberi hasil yang terbaik dengan IOFC tertinggi.

Minggu, 26 Juli 2009

Pemanfaatan Hasil Sampingan Perkebunan Sebagai Pakan Tambahan Kambing Kacang Terhadap Karkas Serta Perbandingan Daging Dan Tulang Selama Penggemukkan

Pendahuluan

Sumatera utara sebagai salah satu wilayah yang memiliki areal perkebunan yang cukup luas merupakan daerah yang cocok untuk pengembangan pemanfaatan limbah perkebunan sebagai pakan tambahan untuk ternak. Berdasarkan data Perkebunan Sumatera Utara (1998), menyebutkan bahwa daerah yang mempunyai perkebunan paling luas adalah Kabupaten Deli Serdang yaitu seluas 61.550,43 Ha untuk perkebunan sawit, 20.370,90 Ha untuk perkebunan coklat dan 11.665,92 Ha perkebunan tebu. Kemudian diikuti daerah Langkat, Tapanuli Selatan, Simalungun, dan Labuhan Batu.

Luasnya lahan perkebunan yang ada dapat memberi ketersediaan limbah yang cukup sepanjang tahun bagi ternak ruminansia. Limbah perkebunan yang dapat dimanfaatkan dapat berupa daun dan pelepah sawit, bungkil inti sawit, lumpur sawit, kulit buah kakao dan kulit biji kakao.

Daun sawit memiliki kandungan serat kasar lebih tinggi yaitu 32.55% diikuti lumpur sawit sebesar 16%. Dan kandungan serat kasar terendah adalah bungkil inti sawit sebesar 10.50%. Sementara itu kandungan protein tertinggi adalah bungkil sawit 15.40% sedangkan lumpur sawit dan daun sawit sama yaitu13%. Akan tetapi kulit coklat memiliki kandungan serat kasar sebesar 33.10% dengan kandungan protein sekitar 5,16%. Kemampuan ternak ruminansia untuk mencerna serat kasar cukup tinggi menyebabkan limbah perkebunan ini tidak perlu diolah lebih lanjut.

Berdasarkan hal diatas perlu dilakukan penenlitian seberapa besar pemanfaatan lumpur sawit, bungkil sawit, daun dan pelepah sawit, kulit buah kakao dan kulit biji kakao terhadap bobot karkas, persentase karkas, bobot lemak serta perbandingan daging dan tulang kambing kacang selama penggemukkan.


Bahan dan Metode Penelitian

Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biologi Ternak di Departemen Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Penelitian berlangsung selama 3 bulan.
Bahan dan Alat Penelitian
· Kambing kacang jantan lepas sapih sebanyak 18 ekor dengan kisaran bobot badan 12,4 + 1,22 kg.
· Perbandingan rumput lapangan dengan konsentrat 75% : 25%
· Konsentrat terdiri dari:
K1 = pakan konvensional yang terdiri dari dedak, bungkil kelapa, tepung jagung, molases, ultra
mineral, garam dan urea.
K2 = pakan hasil sampingan perkebunan sawit yang terdiri dari bungkil inti sawit, lumpur sawit,
daun dan pelepah sawit, molases, ultra mineral, garam dan urea.
K3 = pakan hasil perkebunan kakao yang terdiri dari kulit buah kakao, kulit biji kakao, tepung
jagung, molases, ultra mineral, garam dan urea.
· Obat-obatan seperti obat cacaing (Kalbazen), anti-bloat untuk obat kembung, tetramycin
(salep mata) dan vitamin.
· Peralatan yang terdiri dari kandang 18 unit beserta perlengkapanya, tempat makan dan
minum, timbangan, pisau, lastik dll.
Metode Penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) yang terdiri dari 3 perlakuan dan 6 ulangan.
K1 = pakan konvensional
K2 = Pakan hasil sampingan perkebunan sawit
K3 = Pakan hasil sampingan perkebunan coklat

Parameter yang diamati

a. Bobot karkas; yaitu bobot yang diperoleh dari selisih bobot tubuh setelah dipuasakan (bobot
potong) dengan bobot darah, kepala, kaki, kulit, organ tubuh bagian dalam (selain ginjal), alat
reproduksi dan ekor.
b. Persentase karkas; yaitu bobot karkas segar dibagi dengan bobot tubuh kosong dikali seratus
persen. Bobot tubuh kosong adalah bobot potong dikurangi isi saluran pencernaan.
c. Bobot lemak; bobot yang diperoleh dari lemak sub kutan, lemak inter muskuler, serta lemak
ginjal dan pelvis.
d. Perbandingan antara daging dan tulang; perbandingan daging dan tulang diperoleh dari
karkas yang telah dibuang lemaknya kemudian dibandingkan antara daging dan tulangnya
dalam persen.

Hasil dan Pembahasan


Bobot karkas

Dari hasil analisis keragaman memperlihatkan bahwa, pemberian pakan konvensional, pakan hasil sampingan perkebunan sawit, pakan hasil sampingan perkebunan kakao tidak berpengaruh nyata (P > 0.05) terhadap bobot karkas. Ini berarti bahwa dengan pemberian ke tiga konsentrat tersebut menghasilkan bobot karkas yang sama, walaupun secara angka bobot karkas antar perlakuan berbeda namun tidak nyata. Hal ini disebabkan oleh nilai nutrisi yang terkandung dari masing-masing perlakuan tidak jauh berbeda terutama pada kandungan protein.

Tidak terdapatnya perbedaan yang nyata dari ketiga perlakuan, juga disebabkan karena bobot potong yang tidak nyata pula. Hal ini didukung oleh pendapat Herman (1993) yang menyatakan bahwa semakin tinggi bobot potong yang diperoleh, maka semakin tinggi bobot karkas, persentase karkas dan bobot lemak yang didapat.

Persentase karkas

Dari hasil analisis keragaman diatas, dapat dilihat bahwa pemberian konsentrat konvensional, pakan hasil sampingan perkebunan kelapa sawit dan pakan hasil sampingan perkebunan kakao tidak berpengaruh nyata ( P > 0.05 ) terhadap persentase karkas kambing kacang jantan. Faktor yang menyebabkan tidak nyatanya persentase karkas tersebut adalah adanya hubungan antara pakan yang dikonsumsi dengan persentase karkas yang diperoleh. Hal ini sesuai dengan pendapat Devendra (1977) yang menyatakan persentase karkas yang diperoleh dipengaruhi oleh pakan yang dikonsumsi ternak.

Selain itu, bobot potong juga mempengaruhi persentase karkas, dimana bobot potong dari penelitian ini tidak berbeda nyata antar perlakuan. Moran (1997) disitasi Agus (1998) menyatakan persentase karkas merupakan faktor penting untuk menilai produksi ternak pedaging, karena sangat erat hubungannya dengan bobot hidup dimana semakin bertambah bobot hidupnya maka produksi karkas meningkat.

Lemak

Berdasarkan analisis keragaman diperoleh hasil bahwa pemberian konsentrat konvensional, pakan hasil sampingan perkebunan kelapa sawit dan pakan hasil sampingan perkebunan kakao tidak berpengaruh nyata ( P > 0.05 ) terhadap bobot lemak subkutan, bobot lemak intramuskuler dan bobot lemak ginjal + pelvik. Hasil yang tidak nyata disebabkan oleh bobot potong yang tidak nyata pula. Hal ini sesuai dengan pendapat Herman (1993) yang menyatakan bahwa semakin tinggi bobot potong yang diperoleh, maka semakin tinggi bobot karkas, persentase karkas dan bobot lemak yang didapat.

Perbandingan Daging dan Tulang

Hasil analisis keragamam memperlihatkan bahwa pemberian konsentrat konvensional, pakan hasil sampingan perkebunan kelapa sawit dan pakan hasil sampingan perkebunan kakao tidak berpengaruh nyata ( P > 0.05 ) terhadap perbandingan daging dan tulang. Hal ini dapat disebabkan pengaruh bobot potong serta petambahan bobot badan yang tidak nyata selama penelitian. Persentase daging perlakuan yang diperoleh selama penelitian berkisar 64.8 - 65.6%. Hasil ini lebih tinggi dibanding hasil yang diperoleh Herman (1984) yaitu 60%.

Kesimpulan
Pemberian konsentrat konvensional, pakan hasil sampingan perkebunan kelapa sawit dan pakan hasil sampingan perkebunan kakao memberi hasil yang sama pada bobot karkas, persentase karkas, bobot lemak serta perbandingan daging dan tulang kambing kacang selama penggemukkan.
sumber:
Hasnudi, Yunilas dan Freddy Marbun. 2006. Pemanfaatan Hasil Sampingan Perkebunan Sebagai Pakan Tambahan Kambing Kacang Terhadap Karkas Serta Perbandingan Daging Dan Tulang Selama Penggemukan. Jurnal Agribisnis Peternakan FP USU. Medan Vol. 2 N0. 2 Agustus 2006. hal. 49 – 55.

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/15163/1/agp-agu2005-1.pdf 

CLOSED HOUSE DI DAERAH TROPIS

Iklim tropis seperti di Indonesia memiliki tingkat kelembaban yang tinggi memunclkan varian modifikasi closed house. Temperatur dan kelembaban di daerah tropis karakternya berlawanan. Kalau dibuat grapiknya akan membuat kurva yang berkebalikan. Dari pagi sampai sore, temperatur akan membuat kurva dengan puncak pada siang hari, sementara kelembaban, dalam kurun waktu yang sama, akan membuat kurva dengan lembah (kelembababan rendah) pada siang hari. Dalam prakteknya, kipas dan cooling system dihidupkan diaat-saat kritis saja.

Sistem closed house pada awalnya diterapkan di daerah yang memiliki empat musim (sub tropis). Tapi pada daerah tropis yang memiliki dua musim, dari sejumlah penelitian dan pengalaman, penerapan sistem closed house juga memberi pengaruh yang efektif dalam mengatur kondisi lingkungan yang dibutuhkan ayam.

Tipe ventilasi yang cocok untuk iklim tropis adalah sistem tunnel. Sistem ini mengabdosi aliran udara di terowongan (tunnel) dimana udara dihisap dari satu ujung sehingga masuk dari ujung lainnya. Cara ini memungkinkan exchange rate rendah, maksudnya pertukaran udara terjadi sangat cepat dan kecepatan angin dalam terowongan dapat dirancang agar tercipta chiling effect (efek sejuk) yang optimum untuk ayam.
Sistem ventilasi pada closed house di iklim tropis harus mampu menghasilkan pergantian udara segar yang cepat, chiling effect dan coolling effect – kalau chiling effect tidak bisa mencapai iklim yang diinginkan. Disamping itu saat membangun kandang tertutup sebaiknya mulai memperhatikan masalah atap. Ini penting, untuk iklim tropis seperti di Indonesia karena atap adalah pelindung pertama dari terik matahari, penggunaan atap asal-asalan membuat iklim ideal yang diharapkan tidak tercapai. Biasanya udara panas mengenai atap mencapai 60 0C. Panas setinggi ini harus dipantulkan kembali agar tidak menganggu ayam. Untuk itu diperlukan materi pelapis, biasa disebut insulation yang mampu menolak sebagian besar panas.


Atap yang semakin efektif memantulkan panas akan memberi hasil yang signifikan menurunkan tingkat kematian dan menghemat energi akibat penggunaan kipas dan cooling system. Salah satu jenis logam yang menekan fluktuasi suhu udara akibat panas sinar matahari adalah aluminium. Sehingga penggunaan atap berbahan dari aluminium sangat cocok diterapkan di daerah tropis.


Penggunaan material logam aluminium oleh sejumlah perusahaan penyedia peralatan closed house juga divariasikan dengan bahan lain seperti buble dan plastik. Secara umum bahan aluminium dan buble biasanya digunakan untuk breeding farm sedangkan aluminium plus plastik untuk komersial farm.

Selain berfungsi memantukan panas, lapisan ini efektif menyimpan energi panas. Ebagaimana diketahui di daerah tropis, gap temperatur udara pada malam dan siang hari cukup jauh. Dengan memasang bahan lain maka energi panas matahari akan tersimpan baik sekaligus sebagai balancing suhu.
sumber acuan: majalah Poultry Indonesia

Kamis, 25 Juni 2009

Kandang Sistem Closed House (Kandang Tertutup) Pada Unggas

Kandang sistem closed house adalah kandang tertutup yang menjamin keamanan secara biologi (kontak dengan organisme lain) dengan pengaturan ventilasi yang baik sehingga lebih sedikit stress yang terjadi pada ternak.


Tujuan membangun kandang closed house adalah:

1. Untuk menyediakan udara yang sehat bagi ternak (sistem ventilasi yang baik)
yaitu udara yang menghadirkan sebanyak-banyaknya oksigen, dan mengeluarkan sesegera
mungkin gas-gas berbahaya seperti karbondioksida dan amonia.

2. Menyediakan iklim yang nyaman bagi ternak.
Untuk menyediakan iklim yang kondusif bagi ternak dapat dilakukan dengan cara:
mengeluarkan panas dari kandang yang dihasilkan dari tubuh ayam dn lingkungan luar,
menurunkan suhu udara yang masuk serta mengatur kelembaban yang sesuai.
Untuk menciptakan iklim yang sejuk – nyaman maka bagi ayam harus dikondisikan chilling
effect (angin berembus), alat yang digunakan seperti kipas angin (blower). Bila chilling effect
tidak mampu mencapai iklim yang diiginkan terutama pada daerah yang terlampau panas
maka dapat digunakan cooling system. Yaitu sistem pendingin dengan mengalirkan air pada
alat-alat yang berupa cooling pad, cooling net stsu cell deck.

3. Meminimumkan tingkat stress pada ternak.
Agar tingkst stress pada ayam lebih minimun maka dapat dilakukan dengan cara
mengurangi stimulasi yang dapat menyebabkan stress, dengan cara mengurangi kontak
dengan manusia (misalnya dengan feeder dan drinker otomatis, vaksinasi dengan spray dll),
meminimumkan cahaya dan lain-lain.


Didalam sebuah kandang ternak unggas ini harus diperhatikan kualitas udaranya. Kualitas udara dilihat dari kandungan oksigen, karbondioksida, karbonmonoksida dan amoniak dengan batasan tertentu. Adapun batasan yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut:

Oksigen > 19.6%

Karbondioksida < 0.3%

Karbonmonoksida < 10 ppm

Amonia < 10 ppm


Bila kondisi kandang tidak sesuai dengan ketentuan diatas maka ventilasi yang kurang harus ditingkatkan.


* Kelembaban relatif >< 45 – 65%
* Kecepatan angin setelah 28 hari >< 350 – 500 FPM (Feet Per Minute)


Kecepatan angin diatas 500 FPM tidak ekonomis dan tidak berpengaruh positif bagi performa ayam.


Closed house dapat bervariasi tergantung pada lingkungan dan kemampuan finansial peternak. Secara umum ragam yang ada di lapangan terdiri dari::
1. Sistem Tunnel : menggunakan fan dan tirai tanpa cooling system.
2. Full closed house : ada fan, cooling system dan tirai/penutup dinding samping.
3. Full otomatic closed house.


Pada sistem 1 dan 2 umumnya menggunakan alat pakan dan minum manual atau tempat pakannya saja manual sementara air minum menggunakan bell drinker.

Pada sistem 3, closed house dengan perlengkapan serba otomatis termasuk alarm sistemnya.

Struktur umum kandang sistem terbuka (Closed house) dan perlengkapanya:
1. Bagunan kandang: baik bagunan baru maupun renovasi kandang.
2. Kipas/fan: dapat terdiri dari exhaust fan, blower fan, ceiling/roof fan ataupun wall fan.
3. Material cooling dan perlengkapannya: celpad/evaporative pad, material cooling lainnya
ataupun fogging system.
4. Dinding kandang: dapat berupa solid wall, tirai/curtain system dan celing material.
5. Filter cahaya/light filter/light trap
6. Air inlet
7. Lighting system
8. Control panel + electrical system

sumber acuan: Majalah Poultry Indonesia

Rabu, 24 Juni 2009

Isi Rumen Sapi Sebagai Pakan Non Konvensional Sumber Energi Pada Unggas

Isi rumen merupakan salah satu limbah rumah potong hewan yang belum dimanfaatkan secara optimal bahkan ada yang dibuang begitu saja sehingga menimbulkan pencemaran lingkungan. Limbah ini sebenarnya sangat potensial bila dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak karena isi rumen disamping merupakan bahan pakan yang belum tercerna juga terdapat organisme rumen yang merupakan sumber vitamin B.

Kandungan zat makanan yang terdapat pada isi rumen sapi meliputi: air (8,8%), protein kasar (9,63%), lemak (1,81%), serat kasar (24,60%), BETN (38,40%), Abu (16,76%), kalsium (1,22%) dan posfor (0,29%) dan pada domba meliputi: air (8,28%), protein kasar (14,41%), lemak (3,59%), serat kasar (24,38%), Abu (16,37%), kalsium (0,68%) dan posfor (1,08%) (Suhermiyati, 1984). Widodo (2002) menyatakan zat makanan yang terkandung dalam rumen meliputi protein sebesar 8,86%, lemak 2,60%, serat kasar 28,78%, fosfor 0,55%, abu 18,54% dan air 10,92%. Berdasarkan komposisi zat yang terkandung didalamnya maka isi rumen dalam batas tertentu tidak akan menimbulkan akibat yang merugikan bila dijadikan bahan pencampur ransum berbagai ternak.

Di dalam rumen ternak ruminansia (sapi, kerbau, kambing dan domba) terdapat populasi mikroba yang cukup banyak jumlahnya. Cairan rumen mengandung bakteri dan protozoa. Konsentrasi bakteri sekitar 10 pangkat 9 setiap cc isi rumen, sedangkan protozoa bervariasi sekitar 10 pangkat 5 - 10 pangkat 6 setiap cc isi rumen (Tillman, 1991). Beberapa jenis bakteri/mikroba yang terdapat dalam isi rumen adalah (a) bakteri/mikroba lipolitik, (b) bakteri/mikroba pembentuk asam, (c) bakteri/mikroba amilolitik, (d) bakteri/mikroba selulolitik, (e) bakteri/mikroba proteolitik Sutrisno dkk, 1994)

Jumlah mikroba di dalam isi rumen sapi bervariasi meliputi: mikroba proteolitik 2,5 x 10 pangkat 9 sel/gram isi rumen, mikroba selulolitik 8,1 x 10 pangkat 4 sel/gram isi rumen, amilolitik 4,9 x 10 pangkat 9 sel/gram isi, mikroba pembentuk asam 5,6 x 10 pangkat 9 sel/gram isi, mikroba lipolitik 2,1 x 10 pangkat 10 sel/gram isi dan fungi lipolitik 1,7 x 10 pangkat 3 sel/gram isi (Sutrisno dkk, 1994). Mikroorganisme tersebut mencerna pati, gula, lemak, protein dan nitrogen bukan proein untuk membentuk mikrobial dan vitamin B.
Berdasarkan hasil penelitian Sanjaya (1995), penggunaan isi rumen sapi sampai 12% mampu meningkatkan pertambahan bobot badan dan konsumsi pakan ayam pedaging dan mampu menekan konversi pakan ayam pedaging.

Daftar acuan:
Sanjaya, L. 1995. Pengaruh Isi Rumen Sapi Terhadap PBB, Konsumsi, Konversi Terhadap Ayam Pedaging. Skripsi Fakultas Peternakan Universitas Muhammadiyah, Malang.

Suhermiyati, S. 1984. “Pengujian Cobaan Bahan Limbah RPH dan Ragi Makanan Ternak serta Kombinasinya dalam Ransum Ayam Pedaging”. Thesis Fakulta Peternakan IPB, Bogor.

Sutrisno,C.L et al. 1994. Proceeding Seminar Nasional Sains dan Teknologi Peternakan Pengolahan dan Komunikasi Hasil-Hasil Penelitian Ternak. Ciawi.

Tillman,Allen D dkk. 1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Yogyakarta, Gajah Mada University Press.

Widodo, W. 2002. Nutrisi dan Pakan Unggas Kontekstual. Fakultas Peternakan-Perikanan Universitas Muhammadiyah, Malang.

Senin, 08 Juni 2009

Potensi Pelepah Daun Kelapa Sawit Sebagai Pakan Ternak

Perkebunan kelapa sawit merupakan tanaman tropik yang penting dan berkembang pesat di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Luas perkebunan sawit di Indonesia mencapai 4.686.000 ha dengan produksi 5.456.700 ton pada tahun 2004 (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2004). Jumlah ini akan terus meningkat dengan bertambahnya permintaan dunia, akan minyak sawit (CPO).
Produksi tandan buah segar (TBS) akan makin bertambah pada masa mendatang seiring dengan makin luasnya area perkebunan kelapa sawit yang berproduksi. Menurut Aritonang (1986), produksi tandan buah segar kelapa sawit per hektar per tahun sebesar 12,60 - 27,00 ton, bungkil inti sawit sebesar 0,30 – 0,60 dan lumpur minyak sawit sebesar 0,60 - 1,40.

Tanaman kelapa sawit menghasilkan 3 jenis limbah utama yang dapat digunakan sebagai bahan pakan ternak yaitu pelepah daun kelapa sawit, lumpur minyak sawit dan bungkil inti sawit. Limbah ini cukup berlimpah sepanjang tahun, namun penggunaannya sebagai ransum ternak belum maksimal, apalagi pada peternakan rakyat.

Pelepah daun kelapa sawit merupakan hasil sampingan dari pemanenan buah kelapa sawit. Bila dilihat dari segi ketersediaannya maka pelepah dan daun kelapa sawit sangat potensial digunakan sebagai pakan ternak. Sesuai pernyataan Devendra (1990), siklus pemangkasan setiap 14 hari, tiap pemangkasan sekitar 3 pelepah daun dengan berat 1 pelepah mencapai 10 kg. Satu ha lahan ditanami sekitar 148 pohon sehingga setiap 14 hari akan dihasilkan + 4.440 kg atau 8.880 kg/bulan/ha. Kandungan bahan kering dari pelepah daun sawit sebesar 35% sehingga jumlah bahan kering pelepah sawit/bulan/ha sebesar 3.108 kg.

Hasil analisis Laboratorium Ilmu Nutrisi Makanan Ternak, Departemen Peternakan FP USU (2000), pelepah daun kelapa sawit mengandung 6,50% protein kasar, 32,55% serat kasar, 4,47% lemak kasar, 93,4 bahan kering dan 56,00% TDN. Hasil analisis memperlihatkan bahwa kandungan protein kasar pelepah daun kelapa sawit cukup rendah yaitu sebesar 6,5 % dengan serat kasar yang cukup tinggi sebesar 32,55%. Kandungan serat kasar yang cukup tinggi akan mempengaruhi kecernaan bahan pakan pada ternak.

Menurut Hassan dan Ishida (1992), dari daun kelapa sawit didapat hijauan segar yang dapat diberikan langsung ke ternak baik yang berbentuk segar maupun yang telah diawetkan seperti dengan melakukan silase maupun amoniasi. Perlakuan dengan silase memberi keuntungan, karena lebih aman dan dapat memberi nilai nutrisi yang lebih baik dan sekaligus memanfaatkan limbah pertanian. Keuntungan lain dengan perlakuan silase ini adalah pengerjaannya mudah dan dapat meningkatkan kualitas dari bahan yang disilase. Jafar dan Hassan (1990) menyatakan, pelepah daun kelapa sawit dapat diproses dalam bentuk pellet dan diawetkan dalam bentuk silase.

Dari analisa kimia dinyatakan bahwa daun kelapa sawit tersusun dari 70 % serat dan 22% karbohidarat yang dapat larut dalam bahan kering. Ini menunjukkan bahwa daun kelapa sawit dapat diawetkan sebagai silase dan telah diindikasikan bahwa kecernaan bahan kering akan bertambah 45% dari hasil silase daun kelapa sawit (Ishida dan Hassan, 1992).

Daftar acuan:
Aritonang, D. 1986. Perkebunan Kelapa Sawit Sebagai Sumber Pakan Ternak Di Indonesia. Jurnal Penelitian Dan Pengembangan Pertanian V(4): 93−99.

Devendra,C. 1990. Roughage Resources for Feeding in The Asean Region, The First Asean Workshop on Technology of Animal Feed Production Utility Food Waste Material.

Direktorat Jenderal Perkebunan. 2004. Statistik Perkebunan Kelapa Sawit dan Coklat Indonesia. Jakarta.

Ishida, M. And Hassan 1992. Effect Of Urea Treatmeant Level On Nutritive Value Of Oil Palm Fronds Silage In Kedah Kelantan Bulls, Animal Science Congress, Bangkok, Thailand.

Jafar, M.D. Dan Hasan. 1990. Optimum Steaming Condition Of Oil Palm Press Fiber For Feed Utilization Processing And Utilition Of Oil Palm By Product For Ruminant, Mardi-Tarc Collaborative Study, Malaysia.

Senin, 04 Mei 2009

Umbut Sawit Sebagai Pakan Alternatif Pada Ternak


Perkebunan kelapa sawit setiap 25 tahun akan melakukan peremajaan tanaman yang biasa dikenal dengan istilah “replanting”. Alasan lain untuk melakukan replanting adalah produksi tanaman yang sudah turun dan sulitnya pemanenan karena tanaman yang sudah terlalu tinggi yakni sekitar 17 meter.

Hasil replanting salah satunya adalah umbut sawit. Umbut sawit itu sendiri adalah ujung titik tumbuh batang kelapa sawit bertekstur lunak yang akan tumbuh menjadi pelepah dan daun kelapa sawit. Sampai saat ini, hasil replanting tanaman kelapa sawit berupa umbut sawit belum dimanfaatkan secara optimal. Pada saat replanting umbut sawit terbuang begitu saja dan tidak ada yang memanfaatkannya. Hal ini memberi peluang pada peternak untuk memanfaatkannya sebagai bahan pakan alternatif pengganti hijauan pakan ternak.

Pemanfaatan umbut sawit hasil replanting didukung dengan kondisi perkebunan kelapa sawit, dimana pada dekade ini, kelapa sawit di Indonesia memasuki babak baru yaitu sebagian besar memasuki generasi ke dua. Bahkan untuk Sumatera Utara dan sebagian Lampung rata-rata memasuki generasi ketiga atau keempat. Diperkirakan luas areal yang siap untuk di-replanting adalah 1,5 juta Ha sehingga asumsi kelapa sawit akan direplanting pertahun adalah 5% maka tiap tahun kebun sawit di-replanting sebanyak 75.000 Ha/tahun. Kebun kelapa sawit ini sebagian besar terdapat di Sumatera Utara.

Bila dilihat dari kandungan nutrisinya, umbut sawit sangat potensial karena mengandung berbagai zat nutrisi yang dibutuhkan ternak. Hasil analisis laboratorium menunjukkan bahwa umbut sawit mengandung: 12,65% Protein kasar, 20,72% Serat Kasar, 3,66 Lemak Kasar, 0.45% Ca, 1,21% P, 46% TDN dan Energi Metabolisme sebesar 2630,1 kkal/kg. Umbut kelapa sawit dapat diberikan pada ternak ruminansia sebagai bahan pakan pengganti sumber serat.

Umbut sawit dapat diberikan sebagai pakan alternatif sampai level 30% pada Domba Jantan Persilangan Sei Putih. Pemberian sampai level 30% dalam ransum dapat meningkatkan konsumsi (632,36 gram/ekor/hari) dan pertambahan bobot badan (64,68 gram/ekor/hari) serta menghasilkan konversi ransum yang tidak berbeda nyata dengan ransum kontrol (tanpa umbut sawit), (Harahap, A.S, 2008). Sedangkan Suryadi (2007), menyatakan umbut kelapa sawit fermentasi (aspergillus niger) dapat diberikan dalam ransum ayam broiler umur 0 - 8 minggu sampai level 20%.

Dengan demikian, umbut sawit merupakan salah satu solusi dalam pemecahan masalah kekurangan ataupun keterbatasan ketersedian hijauan pakan ternak disamping memanfaatkan limbah-limbah perkebunan dan pertanian lainnya sebagai pakan alternatif.
* Yunilas, Staf Pengajar Dep. Peternakan FP-USU Medan.

Sabtu, 11 April 2009

Manajemen Kesehatan Ternak Potong

Pengendalian Penyakit
1. Program pencegahan penyakit dan kontrol ternak dikandang.
2. Program pencegahan penyakit dan kontrol ternak di ranch (padang penggembalaan).

Program Pencegahan Penyakit Dan Kontrol Ternak Dikandang

Pengawasan penyakit seharusnya lebih mudah pada pemeliharaan secara intensif dibanding ekstensif, namun secara umum masalah-masalah yang dihadapi adalah identik.

Masalah-masalah yang berhubungan dengan penggelolaan sapi pedaging secara intensif:

1. Walaupun sapi tidak digembalakan, pengawasan terhadap caplak masih sangat perlu pada daerah yang belum bebas caplak dan jangan dilalaikan.

2. Pengawasan terhadap parasit dalam, juga masih diperlukan terutama pada ternak yang lebih muda, dimana banyak parasit yang mungkin terdapat pada hijauan yang dipotong di lapangan.

Program Pencegahan Penyakit Dan Kontrol Ternak Di Ranch

Masalah-masalah yang berhubungan dengan penggelolaan sapi di ranch:
· Penyakit mulut dan kuku
·Penyakit-penyakit wabah dan beberapa parasil eksternal dapat diatasi dengan program pemberantasan berencana, perbaikan produksi dan distribusi vaksin dan perbaikan makanan serta pengelolaan.
· Pedet muda lebih mudah terserang penyakit pneumonia pada udara yang sangat lembab.
· Perlu adanya program pengendalian caplak di lapangan.

Aspek-Aspek Yang Harus Dikelola Secara Profesional Dalam Upaya Menjaga Kesehatan Ternak Adalah:

1. penyediaan fasilitas kesehatan
§ ruang karantina/isolasi
§ fasilitas dipping/spraying
§ kandang jepit atau notstal

2. tindakan preventif secara umum (terhadap lingkungan).
§ Pastikan areal bebas dari penyakit menular.
§ Pembuatan kandang dan perlengkapan memenuhi syarat kesehatan.
§ Menjaga kebersihan kandang dan perlengkapan.

3. Tindakan preventif secara khusus (terhadap ternak).
§ Memandikan ternak
§ Vaksinasi
§ Isolasi/karantina
§ Potong kuku
§ Pengawasan terhadap pakan
§ Mencukur bulu.

4. Tindakan kuratif (pengobatan).
§ Pada ternak sapi potong
§ Pada ternak kambing/domba.

Adapun aspek-aspek yang harus dikelola secara profesional dalam upaya menjaga kesehatan ternak dapat dijelaskan sebagai berikut:

1). Penyediaan Fasilitas Kesehatan

Dalam perencanaan kandang, fasilitas kesehatan mutlak diperlukan, termasuk minimal seorang ahli dikandang kesehatan. Dalam hal ini bisa dokter hewan atau tenaga laboran (khusus meneliti penyebab penyakit pada ternak).

Fasilitas kesehatan yang penting antara lain:

a. ruang karantina/isolasi
biasanya dilengkapi dengan lampu infra merah. Tujuan memberi suasana hangat dan kering sehingga bibit penyakit tidak tahan/berkembangbiak di tempat tersebut.

b. fasilitas dipping atau spraying
Dipping merupakan kolam dengan kedalaman dan panjang tertentu tergantung jenis ternak. Spraying berupa lorong/ruangan yang dilengkapi shower-shower dibagian atapnya, dapat difungsikan secara otomatis/manual.

c. Kandang jepit atau notstal
Sebagai tempat memberikan perlakuan kesehatan pada ternak dapat berupa vaksinasi, suntik, penimbangan dll.

2). Tindakan Preventif Secara Umum (Terhadap Lingkungan).

a. pastikan areal peternakan bebas dari penyakit menular. Tindakan : lakukan sanitasi lingkungan secara menyeluruh.

b. pembuatan kandang dan perlengkapan memenuhi syarat kesehatan.
Contoh: cukup ventilasi, tidak lembab, sesuai arah angin dan arah datangnya sinar matahari, tidak tergenang air dan fasilitas pembuangan dan pengolahan limbah dll.

c. menjaga kebersihan kandang dan peralatan. Dengan cara pemakaian densifektan, pembersihan dan pencucian secara rutin.

3).Tindakan Preventif Secara Khusus (Terhadap Ternak).

a. memandikan ternak
Kegiatan memandikan ternak terlihat sepele namun jika tidak ditangani secara rutin kerugian yang diakibatkan cukup besar. Memandikan dalam hal ini tidak hanya dalam arti membersihkan dari kotoran yang melekat dibadan tapi juga sekaligus dilakukan pengobatan eksternal terhadap kuku, parasit, jamur, kudis dll yang sifatnya menggangu kesehatan kulit.

Untuk memandikan ternak sapi ini perlu disediakan fasilitas seperti dipping atau spraying. Dipping merupakan kolam dengan kedalaman dan panjang (ukuran) tertentu tergantung jenis ternak. Sedangkan spraying berupa lorong/ruangan yang dilengkapi shower-shower dibagian atapnya, dapat difungsikan secara otomatis/manual. Biasanya air yang digunakan telah dicampur dengan obat-obatan dalam konsentrasi tertentu sesuai dengan pengobatan apa yang dilakukan.

Masing-masing fasilitas tersebut memiliki kelebihan maupun kelemahan:

Kelebihan fasilitas dipping adalah pengobatan lebih sempurna karena air yang mengandung obat-obatan dalam konsentrasi tertentu mencapai bagian tubuh yang tersembunyi, namun kelemahannya konsentrasi obat-obatan berkurang bila hujan turun.

Sedangkan kelebihan fasilitas spraying adalah air yang mengandung obat-obatan konsentrasinya dapat dipertahankan namun pengobatan kurang sempurna karena air yang mengandung obat-obatan tersebut tidak mencapai bagian tubuh yang tersembunyi.

Kegiatan memandikan ternak dilakukan dengan caranya ternak digiring masuk ke dalam kolam (dipping) atau ke lorong (spraying). Dipping/spraying ini tata letaknya berada di dekat pintu ke arah yard (exercise). Setelah dimandikan ternak dibiarkan beberapa saat berjalan-jalan bebas untuk mengeringkan badan di areal terbuka kena matahari pagi, dan kegiatan memandikan ternak pada pagi hari, 1 – 2 minggu sekali tergantung keperluan.

b. Vaksinasi
vaksinasi ini untuk menciptakan kekebalan tubuh terutama terhadap penyakit-penyakit menular.
Contoh:
1. Penyakit antrax (radang limpa)
2. Penyakit SE (septichaemia epizootica/penyakit ngorok).
3. Penyakit brucellosis
4. Penyakit puru, dakangan

Ini belum termasuk vaksin yang biasanya diberikan saat ternak baru tahap penyapihan.
Contoh: para influensa 3 (PI-3)
BVO (bovine virus diare)
Clostridial infections dsb

c. isolasi/karantina
terutama diberlakukan bagi ternak-ternak yang baru di datangkan dari luar peternakan, baik sapi bakalan maupun bibit jantan/betina.
Ini dilakukan untuk mencegah masuknya bibit penyakit yang bisa terbawa oleh ternak sehingga perlu pemeriksaan terlebih dahulu dengan masa karantina + 3 minggu. Dilakukan selama 3 minggu karena umumnya masa inkubasi kuman tampak gejala-gejalannya setelah 2 mingggu. Kalau dalam 2 minggu aman maka ternak baru bisa dicampur dengan ternak lain di kandang pemeliharaan.

d. potong kuku
potong kuku dilakukan untuk mencegah penyakit foot root (busuk kuku) yang bakteri penyebabnya senang tinggal dikotoran yang ada disela-sela kuku.
§ Jika kuku panjang maka rongga yang dibagian bawah kuku semakin luas untuk dipenuhi kotoran sehingga menjadi tempat yang nyaman bagi bakteri.
§ Kemungkinan luka akibat kuku patah pada ternak yang kukunya panjang.
§ Jalan pincang.

e. Pengawasan terhadap pakan
banyak penyakit yang timbul akibat kurang pengawasan pakan yang diberikan. Apalagi sistem pasture yang hijauanya mencari sendiri. Disamping penyakit akibt defisiensi suatu mineral/vitamin juga misalnya:
§ Kembung perut (tympani) yaitu penyakit yang disebabkan akibat terlalu banyak makanan hijauan segar muda/pada pagi hari. Gejalanya ternak gelisah, lambung kiri bengkak membesar, tidak mau makan menyebabkan kematian.
§ Kejang rumput (grass titani) yaitu akiba makan hijauan muda berlebihan sehingga defisiensi mineral Mg.
§ Keracunan yaitu akibat beberapa jenis hijauan, pakan/konsentrat berjamur.

f. mencukur bulu
mencukur bulu hanya khusus dilakukan pada
ternak domba, berkaitan dengan pengobatan secara dipping/spraying yang akan menyakitkan apabila bulu domba sudah mulai mengumpal. Dari segi ekonomis penampilan domba bersih, bulunya tipis akan kelihatan lebih gemuk, nilai jual akan tinggi.

4). Tindakan kuratif (pengobatan)


Hal ini dilakukan apabila ternak sudah terserang penyakit. Umumnya penyakit-penyakit yang munculnya tiba-tiba dan mematikan, atau penyakit yang tidak mematikan tapi dapat menurunkan bobot badan secara dratis perlu diwaspadai.
Banyak sekali penyakit yang menyerang ternak sapi, kambing domba tetapi yang perlu diwaspadai antara lain:

a. Penyakit jembrana (rawa dewa) ...sapi bali’
Gejala:
§ Demam tinggi pada umur 3 – 4 tahun
§ Tidak nafsu makan
§ Pengeluaran air liur dan inggus berlebihan
§ Permukaan kulit timbul bintik-bintik merah yang sulit hilang

Penyebab :
Virus
Penyakit tidak mematikan tetapi dapat menimbulkan keguguran bila menyerang ternak bunting. Penurunan berat badan akibat nafsu makan menurun.

Pengobatan: Tetrasilin dan kloromfenikol

b. penyakit ingusan
gejala:
§ Menyerang semua umur
§ Demam tinggi
§ Ingus keluar berlebihan
§ Kornea mata keruh, penglihatan terganggu
§ Dapat menyebabkan kematian bila parah

Penyebab:
Virus herves
Belum ada pengobatan khusus sehingga tindakan preventif lebih diutamakan.

c. penyakit ngorok
gejala:
§ lidah menjulur keluar, air liur berbuih
§ suhu badan tinggi, sulit bernafas
§ suara ngorok
§ leher dan dada membengkak
§ penyakit mematikan

d. antrax (radang limpa)
penyebabkan:
§ spora bacillus antrasis yang mudah menyebar
§ mudah menular pada manusia lewat daging yang dimakan atau darah ternak yang menderita antrak.

Pengobatan:sulit dilakukan karena sering terlambat diketahui.

e. cacing hati
menyerang sgala jenis ternak
gejala:
§ ternak lesu, mata membengkak, berat badan cepat menurun/kurus.
§ Bulu kasar/kusam
§ Dapat menyebabkan kematian

Penyebab:
Cacing basiola sp (F.hepaica)

Pengobatan:
§ Peperazin
§ Albandazole oral
§ Valbazen
§ Nitrocymic suntik
§ Dovanile

Penyakit pada ternak kambing/domba antara lain:

a. Penyakit kudis, kurap atau gudik (scabies).

Penyebab:
Parasit kulit

Gejala:
§ Gejala awal ternak mengosok-gosok tubuh ke benda-benda sekitarnya.
§ Kulit menebal dan kaku, terdapat kerak-kerak dipermukaan kulit dan terjadi kerontokkan bulu.

Pengobatan:
Pemberian obat suntik ivomec.

b. penyakit belatung (myasis)
penyebab:
luka tidak ditutup perban terinfeksi larva/belatung.

Gejala:
§ Terdapat larva lalat/belatung dibagian tubuh yang luka

Pengobatan:
§ Belatung yang terlihat diangkat dan yang tidak terlihat dibasmi dengan insektisida atau obat gusaneks.

c. perut kembung/tympani

penyebab:
§ Kegagalan tubuh ternak dalam mengeluarkan gas yang berasal dari proses pencernaan di dalam lambung.

Gejala:
Ternak gelisah, sulit bernafas

Pengobatan:
§ Usahakan ternak tetap dalam keadaan berdiri.
§ Diberi minum minyak kelapa 100 – 300 ml, perut dipijat-pijat secara perlahan.
§ Dalam keadaan parah langkah darurat dengan penusukan pada bagian perut yang kembung (10 – 15 cm dibawah tulang belakang dan pertengahan tulang rusuk dan tulang panggul)

d. penyakit cacingan dll.

*Yunilas. Staf Pengajar Fak.Pertanian, Prodi Peternakan, USU - Medan

Kamis, 09 April 2009

Penyembelihan Ternak

Penyembelihan ternak secara halal sudah merupakan salah satu persyaratan penyembelihan ternak yang harus dilakukan di rumah-rumah potong hewan dan unggas (RPH dan RPU) yang ada di Indonesia. Kehalalan dan kethoyiban (keamanan dan kesehatan) produk pangan hewani sudah merupakan kebutuhan umat muslim apalagi di negara kita sebagian besar beragama Islam. Pemerintah berupaya memberi perlindungan pada konsumen melalui penyediaan produk pangan asal hewan yang ASUH (Aman, Sehat, Utuh dan Halal).

Dengan kesadaran yang ada, masyarakat konsumen makin menuntut jaminan akan keamanan dan kehalalannya melalui Program ASUH (Aman, Sehat, Utuh dan Halal).
  • Aman: tidak mengandung penyakit dan residu yang dapat menyebabkan penyakit/gangguan kesehatan pada manusia.
  • Sehat: memiliki zat-zat yang berguna bagi kesehatan dan pertumbuhan tubuh.
  • Utuh : tidak dicampur dg bagian lain dari hewan tersebut atau bagian dari hewan lain.
  • Halal : dipotong dan ditangani sesuai syari'at agama Islam.

Ada Beberapa Aspek Yang Perlu Diperhatikan Dalam Penyemblihan Halal

  1. Aspek ternak/hewan yang akan disembelih.

  2. Aspek penyembelih/orang yang menyembelih

  3. Aspek teknis penyembelihan

*Aspek ternak/hewan yang akan disembelih:

  1. Ternak harus termasuk dalam klasifikasi hewan yang boleh disembelih dan halal dikonsumsi berdasarkan syari'at Islam.

  2. Hewan dalam kondisi sehat dan bersih.

  3. Diistirahatkan sebelum hewan disembelih.

*Aspek penyembelih/penjagal/modin:

  1. Seorang muslim yang taat

  2. Sudah dewasa

  3. Memiliki pengetahuaan tentang hewan yang halal dan haram, untuk disembelih.

  4. Memiliki pengetahuan tentang cara penyembelihan halal.

*Aspek teknis penyembelihan halal:

  1. Hewan harus dalam keadaan betul-betul hidup dan sehat saat hendak disembelih.

  2. Membaca basmalah sebelum penyembelihan.

  3. Mengunakan pisau yang tajam, bersih dan tidak berkarat.

  4. Memotong vena (pembuluh darah/wadajain), trachea (saluran pernafasan/hulqum) dan saluran makanan (mar'i) dengan sekali potong/tekan tanpa diangkat dari leher.

  5. Setelah disembelih hewan digantung agar darah sesempurna mungkin keluar. Hal ini disebabkan karena darah merupakan media yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme dan darah merupakan bahan yang haram untuk dikonsumsi.

Mengapa hanya hewan sehat yang disembelih?

  1. Untuk mendapatkan daging yang aman, sehat dan layak/etis untuk dikonsumsi.
  2. Untuk menghindari konsumen dari penyakit-penyakit yang ditularkan dari hewan ke manusia (zoonosis) dan penyakit yang ditularkan dari produk pangan asal hewan (food borne disease) yang mungin terjadi.

Mengapa hewan perlu diistihahatkan?

  1. Untuk menghindari terjadinya stress pada ternak yang akan dipotong. Stress pada ternak yang akan dipotong dapat mengakibatkan pH daging tinggi. Kondisi ini memberi peluang bakteri dan mikroorganisme lain tumbuh subur sehingga mempercepat kerusakan daging, ditandai dengan warna daging yang gelap dan berlendir.
  2. Perlakuan pemberian istirahat yang cukup sebelum ternak dipotong merupakan manifestasi dari rasa menghargai terhadap sesama makhluk dan kesejahteraan hewan.

Mengapa perlu menggunakan pisau tajam?

  • Penyembelihan menggunakan pisau tajam bertujuan untuk mempercepat berakhirnya rasa sakit yang diderita ternak tersebut sebagai manifestasi dari kesejahteraan hewan.

Mengapa ternak perlu digantung setelah disembelih?

  • Penggantungan bertujuan untuk memberi peluang agar darah sebanyak mungkin cepat keluar, mengingat darah merupakan media yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme dan darah merupakan bahan yang haram untuk dikonsumsi.

Beberapa hal yang dilarang dalam penyembelihan:

  1. Perlakuan hewan ternak sebelum disembelih; pemberian air minum yang berlebihan dengan tujuan meningkatkan berat badan (stunning), pemotongan kaki-kaki ternak saat ternak masih hidup dengan tujuan memudahkan penyembelihan, penusukkan jantung saat ternak masih hidup dengan tujuan mempercepat pengeluaran darah/kematian, penyembelihan ternak dengan cara digantung dengan tujuan memudahkan penyembelihan dan pengeluaran darah.
  2. Pada proses penyimpanan dan pengangkutan daging harus terpisah dari daging babi.
Sumber: Direktorat Kesmavet Ditjen Bina Produksi Peternakan Departemen Pertanian





Senin, 16 Februari 2009

Pengaruh Suplementasi Mineral (Na, Ca, P, Cl) Dalam Ransum Terhadap Produksi Telur Puyuh (Cortunix-Cortunix Japonica)

Yunilas, Zulfikar Siregar dan Noven Wenthy NS (2007). Pengaruh suplementasi mineral (Na, Ca, P, Cl) dalam ransum terhadap produksi telur puyuh (Cortunix-cortunix japonica). Dalam: Jurnal Agribisnis Peternakan FP USU. Medan Vol. 3 N0. 2 Agustus 2007. hal. 61 – 65.

Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh suplementasi mineral (Na, Ca, P, Cl) dalam ransum terhadap konsumsi ransum, konversi ransum, produksi telur puyuh (Cortunix-cortunix japonica). Rancangan yang digunakan adalah rancangan acaklengkap (RAL) dengan 5 perlakuan dan 4 ulangan, setiap ulangan terdiri dari 3 ekor puyuh betina sehingga jumlah keseluruhan 60 ekor. Perlakuan terdiri dari R0 = Kontrol (pakan produksi Charoen Pokhpand Indonesia), R1 = R0 + 37,5 g Ca + 0.00035 g Na, R2 = R0 + 75 g Ca + 0.00070 g Na, R3 = R0 + 10 g P + 0.00015 g Cl dan R4 = R0 + 20 g P + 0.00030 g Cl. Parameter yang diamati meliputi konsumsi ransum, konversi ransum, dan produksi telur. Berdasarkan analisis keragaman diperoleh hasil bahwa suplementasi mineral (Na, Ca, P, Cl) dalam ransum tidak berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap konsumsi ransum, konversi ransum, produksi telur puyuh (Cortunix-cortunix japonica). Walaupun suplementasi mineral (Na, Ca, P, Cl) dalam ransum memberi hasil tidak berbeda nyata, namun pada perlakuan R2 (R0 + 75 g Ca + 0.00070 g Na) menunjukan hasil lebih baik dari pada perlakuan lainnya yaitu produksi telur cenderung meningkat dan konversi ransum cenderung menurun.

Kata kunci: suplementasi mineral, produksi telur, puyuh

Pendahuluan

Puyuh merupakan salah satu komoditi unggas yang semakin populer di masyarakat. Hal ini terbukti dengan banyaknya masyarakat yang berminat untuk memelihara puyuh dan meningkatnya masyarakat yang mengkonsumsi produk-produk yang dihasilkan dari ternak puyuh karena dinilai memiliki kandungan protein yang tinggi, terutama telur yang merupakan produk utama dari puyuh.Secara garis besar yang mempengaruhi produksi telur adalah faktor genetik, pakan, kualitas ransum, konsumsi ransum, keadaan kandang, temperatur, penyakit dan stress (Yasin, 1988). Rasyaf (1995) juga mengemukakan bahwa faktor ransum sangat perlu diperhatikan terutama zat-zat yang terkandung dalam ransum yang diberikan karena dapat mempengaruhi produksi telur.

Kenyataannya dalam penyusunan ransum yang sering diperhatikan adalah kandungan energi dan proteinnya. Selain energi dan protein kandungan mineral dalam ransum juga perlu diperhatikan. Aggorodi (1985) menyatakan bahwa mineral ebagai zat makanan diperlukan tubuh sama halnya seperti asam amino, energi, vitamin, asam lemak. Mineral digunakan untuk propses metabolisme dalam tubuh. Defisiesi suatu mineral jarang menyebabkan kematian tetapi berpengaruh langsung terhadap kesehatan ternak dan berdampak pada penurunan produksi telur sehingga dapat menyebabkan kerugian besar. Salah satu upaya yang diusahakan adalah dengan suplementasi mineral makro, mineral mikro dan mineral langka dalam ransum.

Mineral makro seperti Ca, P, K, Cl, S, Na, dan Mg dan mineral mikro seperti Fe, I, Zn, Cu, Mn, Co, Se dan Mo diperlukan oleh ternak dalam jumlah cukup. Kekurangan mineral dalam ransum dapat berpengaruh pada pertumbuhan puyuh, penurunan produksi telur dan kanibalisme yang dapat menurunkan produksi secara keseluruhan (McDonald, et al., 1995).
Tillman (1991) menyatakan bahwa absorpsi diantara zat-zat mineral pada kenyataaanya terjadi persaingan. Suplementasi beberapa mineral serigkali menganggu penyerapan mineral lainnya, sebagai contoh siplementasi Ca yang berlebihan di dalam ransum dapat menekan absorpsi mineral zinkum (Zn) padahal Zn berperan besar dalam proses metabolisme tubuh, sistem tubuh dan defisiensi Zn dapat mengakibatkan gangguan pada pemasakkan gonad pada proses reproduksi seperti pembentukan telur.

Natrium adalah merupakan kation utama air laut maupun cairan ekstrasellulae. Hewan yang mendapat ransum yang defisiensi natrium, tidak hanya terganggu pertumbuhannnya, tetapi tulang-tulangnya menjadi lunak, kornea bertanduk, perubahan dalam funsi selullar dan penurunan dalam isi cairan plasma. Pada unggas defisiensi natrium mengakibatkan produksi telur menurun, pertumbuan terhambat dan kanibalisme (Anggorodi, 1995). Wahyu (1997) menambahkan bahwa defisiensi natrium dapat mengurangi penggunaan protein dan energi, menghambat daya reproduksi serta menyebabkan diare dan pengeluaran urin yang banyak sebagai akibat kerusakan ginjal dan adrenal.
Kriteria kecukupan kalsium pada ayam petelur terlihat pada produksi telur, pemanfaatan bahan pakan, kualitas kulit telur dan keadaan dari cadangan kalsium dalam tulang (Georgievskii, et al, 1982). Ca dan P juga sangat berperan bagi pembentukkan tulang-tulang pada puyuh sedang bertumbuh dan berperan pada pembentukkan kulit telur puuh yang sedang berproduksi (Rasyaf, 1984).
Klor merupakan bagian sekresi lambung. Peranan utama klor adalah pengontrol keseimbangan asam dan basa dan mengatur tekanan osmotik. Sejumlah kecil klor disimpan dalam kulit dan jaringan-jaringan bawah kulit. Defisiensi klor pada unggas memperlihatkan gejala-gejala laju pertumbuhan terganggu yang disebabkan nafsu makan berkurang, kematian tinggi, dehidrasi dan kadar klor darah yang menurun (Anggorodi, 1985).

Secara ideal suplementasi mineral harus dilakukan jika kebutuhan mineral untuk ternak tidak terpenuhi dari pakan yang diberikan. Untuk melakukan suplementasi mineral diperlukan pengetahuan mengenai komposisi mineral dari bahan-bahan ransum yang digunakan. Dalam prakteknya, suplementasi mineral dilakukan secara rutinpada ransum yang disusun oleh peternak sendiri maupun secara komersil (pabrik pakan ternak) sebagai jaminan atau untuk antisifasi terhadap berkurangnya ketersedianan mineral dalam ransum (McDowell, 1992).


Bahan dan Metode Penelitian

Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biologi Ternak Jl. Prof. Dr. A. Sofyan No. 3 Departemen Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara selama 8 minggu.

Bahan dan Alat Penelitian
•Burung puyuh betina umur 6 minggu sebanyak 60 ekor.
•Ransum komersil dari PT. Charoen Pokhpand Indonesia.
•Na2CO3, CaCO 3, (NH4)3PO4, NH4Cl sebagai bahan mineral yang akan diteliti.
•Vitamin dan antibiotik seperti Puyuh-Vit dan Ciami
•Vaksin ND
•Formalin untuk fumigasi
•Rodalon untuk densifektan
•Peralatan yang terdiri dari kandang 20 unit ( 60 x 40 x 20 cm/unit), tempat makan dan minum, lampu, timbangan, termometer, hand sprayer.

Metode Penelitian

Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) yang terdiri dari 5 perlakuan dan 4 ulangan.
Perlakuan yang diteliti adalah:
R0 = Kontrol (pakan produksi Charoen Pokhpand Indonesia),
R1 = R0 + 37,5 g Ca + 0.00035 g Na
R2 = R0 + 75,0 g Ca + 0.00070 g Na
R3 = R0 + 10,0 g P + 0.00015 g Cl
R4 = R0 + 20,0 g P + 0.00030 g Cl

Parameter yang diamati

a.Konsumsi ransum (g / ekor / mgg)
Konsumsi ansum dihitung dari jumlah ransum yang diberikan ( gram ) dikurangi dengan sisa ransum
selama seminggu.

b.Produksi telur (%)
Produksi telur dihitung dari perbandingan jumlah telur yang dihasilkan dalam satu minggu dengan
jumlah puyuh betina yang ada dikali seratus persen.

c.Berat Telur (g)
Berat telur ditimbang setiap hari dari perbandingan jumlah seluruh berat telur dengan jumlah
telur/ploat.

d.Konversi Ransum
Konversi ransum dihitung berdasarkan perbandingan konsumsi ransum dengan berat telur yang
dihasilkan selama seminggu.

Hasil Penelitian
Pengaruh suplementasi mineral (Na, Ca, P, Cl) dalam ransum terhadap produksi telur puyuh (Cortunix-cortunix japonica) dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Pengaruh suplementasi mineral (Na, Ca, P, Cl) dalam ransum terhadap produksi telur puyuh
(Cortunix-cortunix japonica)

Perlakuan Konsumsi(g/ekor/mgg) Prod.Telur (%) Berat Telur (gram) Konversi Ransum
R0 176.28 tn 55.10 tn 10.12 tn 1.60 tn
R1 173.46 tn 59.69 tn 9.96 tn 1.58 tn
R2 171.80 tn 67.35 tn 10.02 tn 1.25 tn
R3 170.16 tn 64.46 tn 10.03 tn 1.39 tn
R4 170.69 tn 63.44 tn 10.34 tn 1.29 tn

Minggu, 15 Februari 2009

Pengaruh Pemberian Tepung Daun Kelapa Sawit yang Difermentasi Aspergillus niger Terhadap Karkas Kelinci Lokal Jantan Umur 16 Minggu

Wendi L.Hutajulu dan Yunilas (2007). Pengaruh Pemberian Tepung Daun Kelapa Sawit Yang Difermentasi Aspergillus Niger Terhadap Karkas Kelinci Lokal Jantan Umur 16 Minggu. Dalam: Jurnal Agribisnis Peternakan FP USU. Medan Vol. 3 N0. 2 Agustus 2007.hal. 75 – 79.


Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh pemberian tepung daun kelapa sawit yang difermentasi Asfergillus niger dalam ransum terhadap karkas kelinci lokal jantan umur 16 minggu. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) yang terdiri dari 5 perlakuan dan 5 ulangan, dan setiap ulangan terdiri dari 1 ekor kelinci. Perlakuan tediri dari dari R0 = rumput lapangan + konsentrat tanpa tepung daun kelapa sawit fermentasi, R1 = rumput lapangan + konsentrat dengan 5 % tepung daun kelapa sawit fermentasi, R2 = rumput lapangan + konsentrat dengan 10 % tepung daun kelapa sawit fermentasi, R3 = rumput lapangan + konsentrat dengan 15 % tepung daun kelapa sawit fermentasi, R4 = rumput lapangan + konsentrat dengan 20 % tepung daun kelapa sawit fermentasi. Parameter yang diamati adalah bobot potong, bobot karkas, persentase karkas dan panjang usus. Berdasarkan analisis statistik diperoleh hasil bahwa pemberian tepung daun kelapa sawit yang difermentasi Aspergillus niger tidak berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap bobot potong, bobot karkas, persentase karkas dan panjang usus. Walaupun hasil yang diperoleh tidak berbeda nyata namun pemberian tepung daun sawit yang difermentasi Asfergillus niger sampai level 20% cenderung menurunkan bobot potong, bobot karkas, persentase karkas kelinci lokal jantan umur 16 minggu.

Kata kunci: daun kelapa sawit, asfergillus niger, karkas, kelinci

Selasa, 10 Februari 2009

Imbangan Protein Hewani Dan Nabati Dalam Formulasi Ransum Broiler

Protein adalah zat organik yang mengandung unsur karbon, hidrogen, nitrogen, oksigen, sulfur dan fosfor. Protein merupakan zat makanan utama yang mengandung nitrogen. Protein ini merupakan zat nutrisi yang esensial bagi kehidupan karena merupakan protoplasma aktif dalam semua sel hidup. Untuk memenuhi kebutuhan hidup ayam broiler ada beberapa kandungan zat nutrisi yang perlu diperhatikan antara lain: protein, lemak, karbohidrat, vitamin, dan mineral. Protein sangat penting karena diperlukan untuk memperbaiki jaringan tubuh, pertumbuhan jaringan baru, metabolisme zat-zat vital dalam fungsi tubuh, pembentukan enzim-enzim esensial bagi fungsi tubuh dan hormon-hormon tertentu.

Dalam memformulasi ransum unggas (broiler) disamping memperhatikan imbangan antara protein dan energi ternyata kita perlu juga memperhatikan imbangan protein penyusun ransum itu sendiri. Hal ini disebabkan protein dalam formulasi ransum ada yang berasal dari protein hewani dan protein nabati.

Protein dalam ransum biasanya bersumber dari protein nabati dan protein hewani. Protein hewani lebih unggul dari pada protein nabati karena protein hewani mengandung asam-asam amino esensial yang sempurna dan seimbang. Disamping itu, protein hewani memiliki rantai karbon lebih pendek sehingga lebih mudah dicerna, sedang protein nabati mempunyai rantai karbon yang lebih panjang sehingga lebih sulit dicerna.

Sumber protein hewani yang digunakan dalam formulasi ransum unggas (broiler) umumnya berasal dari tepung ikan karena tepung ikan merupakan sumber asam-asam amino serta calsium, phospor yang baik. Sedangkan sumber protein nabati sebagian besar bersumber dari bungkil kedelai disamping bahan pakan lainnya. Dengan adanya kombinasi dari sumber protein yang berasal dari protein hewani dan nabati diharapkan keseimbangan zat-zat makanan yang dibutuhkan dapat terpenuhi karena adanya saling melengkapi diantara kekurangan tersebut.

Ransum akan mengandung 6 – 9 % atau 1/3 bagian protein hewani (bila penggunaan tepung ikan 10 – 15% dengan kandungan protein 60%) dan sisanya 13 – 16 % protein nabati dari total protein dalam formulasi ransum 22%. Perhitungan ini dilakukan untuk mengetahui pada imbangan berapakah penggunaan protein hewani memberi pertumbuhan (pertambahan bobot badan) yang baik guna mencapai hasil yang lebih ekonomis karena protein sumber hewani harganya lebih mahal dibanding nabati.

Berdasarkan hasil penelitian Yunilas (1998), penggunaan berbagai imbangan protein hewani dengan nabati 5/12 bagian (9,16%) R1; 4/12 bagian (7,33%) R2; 3/12 bagian (5,50%) R3 dan 2/12 bagian (3,66%) R4 dari total protein ransum menunjukkan hasil berpengaruh sangat nyata (P<0 data-blogger-escaped-.01="">

Dari gambaran diatas dapat disimpulkan bahwa dalam memformulasi ransum, tidak hanya ditentukan oleh besarnya persentase protein dalam ransum, akan tetapi sangat ditentukan oleh kandungan asam-asam amino esensial yang seimbang. Untuk itu imbangan protein asal hewani dan nabati sangat menentukan karena dapat saling menutupi kekurangan asam-asam amino esensial yang dibutuhkan oleh tubuh.

Sumber :
Yunilas. 1998. Performan Ayam Broiler yang Diberi Berbagai Tingkat Protein Hewani dalam Ransum. Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung.


Yunilas, FP USU Medan

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/20899/1/agp-apr2005-5.pdf 

Pemanfaatan Solid Dekanter Fermentasi Dan Suplementasi Mineral Zinkum Dalam Ransum Terhadap Karkas Itik Peking Umur 12 Minggu.

Yunilas, Sayed Umar, M.Rahmatsyah (2006) Pemanfaatan Solid Dekanter Fermentasi dan Suplementasi Mineral Zinkum dalam Ransum Terhadap Karkas Itik Peking Umur 12 Minggu. Dalam: Jurnal Agribisnis Peternakan FP USU. Medan Vol. 2 N0. 1 April 2006 hal. 1-5.

Abstrak : Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh solid dekanter fermentasi dan suplemen mineral zinkum dalam ransum terhadap karkas Itik Peking umur 12 minggu. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancanga acak lengkap (RAL) faktorial. Terdiri dari 2 faktor, faktor pertama adalah solid dekanter yang difermentasi (S) terdiri dari 5 level (S0=tanpa solid dekanter, S1=5% solid dekanter, S2=10% solid dekanter, S3=15% solid dekanter, S4=20% solid dekanter) faktor ke dua suplementasi mineral zinkum, terdiri dari 3 level (Z0=tanpa zinkum, Z1=60 mg/kg ransum, Z2=120 mg/kg ransum). Parameter yang diamati adalah bobot hidup, bobot karkas dan persentase karkas. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa pemanfaatan solid dekanter fermentasi, mineral zinkum dan interaksi kedua faktor tersebut tidak berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap bobot hidup, bobot karkas dan persentase karkas itik Peking Umur 12 Minggu.
Kata kunci: solid dekanter, mineral zinkum, bobot hidup, bobot karkas, persentase karkas

Yunilas, FP USU Medan

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/15154/1/agp-apr2006-1.pdf 

Potensi Limbah Bulu Ayam Sebagai Bahan Pakan Alternatif Sumber Protein Hewani Dalam Ransum Unggas Oleh: Yunilas

Pendahuluan

Masalah utama dalam peningkatan produksi ternak unggas adalah penyediaan pakan sumber protein hewani (tepung ikan) yang harganya relatif mahal. Untuk memenuhi kebutuhan tepung ikan Indonesia masih mengimport dari luar negeri karena produk dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan yang ada sehingga harganya sangat mahal dibanding bahan pakan lain. Untuk menekan biaya pakan dan mengefisiensikan pakan diusahakan memanfaatkan limbah pertanian ataupun peternakan.

Salah satu produk pengolahan hasil peternakan yang belum dimanfaatkan secara optimal sebagai bahan pakan ternak adalah bulu ayam. Bulu ayam merupakan limbah peternakan yang dapat dijadikan sebagai bahan pakan alternatif pengganti sumber protein hewani dalam formulasi ransum ayam (unggas). Hal ini disebabkan karena bulu ayam memiliki kandungan protein cukup tinggi. Murtidjo (1995), protein kasar tepung bulu ayam mencapai 86,5% dan energi metabolis 3.047 kcal/kg. Demikian juga menurut Rasyaf (1993), bulu ayam mengandung protein kasar cukup tinggi, yakni 82 – 91 % , kadar protein jauh lebih tinggi dibanding tepung ikan.

Bila dlihat dari segi ketersediaannya, tepung bulu ayam sangat potensial dijadikan sebagai bahan pakan alternatif dalam ransum unggas. Ini didukung oleh jumlah pemotongan ayam yang terus meningkat dari tahun ke tahun sehingga menyebabkan ketersediaan limbah bulu ayam terus meningkat. Demikian juga, bila ditinjau dari kandungan proteinnya maka bulu ayam cukup potensial dijadikan sebagai bahan pakan alternatif sumber protein hewani penganti tepung ikan karena mengandung protein cukup tinggi dan kaya akan asam amino esensial. Namun sebagai bahan pakan alternatif, tepung bulu ayam tidak hanya dilihat dari segi ketersediaannya saja tetapi kandungan nutrisinya apakah mendukung untuk digunakan dalam formulasi ransum unggas secara luas.
Sebagai bahan baku pakan ternak, bulu unggas jarang digunakan oleh pabrik pakan ternak unggas. Walaupun mengandung protein cukup tinggi dan kaya asam amino esensial, tepung bulu mempuyai faktor penghambat seperti kandungan keratin yang digolongkan kepada protein serat. Kandungan protein kasar yang tinggi dalam tepung bulu ayam tersebut tidak diikuti oleh nilai biologis yang tinggi. Hal ini menyebabkan nilai kecernaan bahan kering dan bahan organik pada tepung bulu ayam rendah. Nilai kecernaan yang rendah pada tepung bulu ayam disebabkan oleh kandungan keratin. Keratin merupakan protein yang kaya akan asam amino bersulfur, sistin. Keratin sulit dicerna karena ikatan disulfida yang dibentuk diantara asam amino sistin menyebabkan protein ini sulit dicerna oleh ternak unggas, baik oleh mikroorganisme rumen maupun enzim proteolitik dalam saluran pencernaan pasca rumen pada ternak ruminansia.

Keratin dapat dipecah melalui reaksi kimia dan enzim, sehingga pada akhirnya dapat dicerna oleh tripsin dan pepsin di dalam saluran pencernaan. Sehingga bila tepung bulu ayam digunakan sebagai bahan pakan sumber protein, sebaiknya perlu diolah terlebih dahulu untuk meningkatkan kecernaannya. Nilai biologis tepung bulu ayam dapat ditingkatkan dengan berbagai pengolahan dan pemberian perlakuan yang benar.

Ada beberapa metode pengolahan untuk meningkatkan nilai nutrisi tepung bulu ayam:
1) Perlakuan Fisik Dengan Pengaturan Temperatur Dan Tekanan,
2) Secara Kimiawi Dengan Penambahan Asam Dan Basa (Naoh, Hcl),
3) Secara Enzimatis Dan Biologis Dengan Mikroorganisme,
4) Kombinasi ketiga metode tersebut.

Penggolahan Melalui Perlakuan Fisik dengan Pengaturan Temperatur dan Tekanan

Tepung bulu direbus dalam wajan tertutup dengan tekanan 3,2 atmosfer selama 45 menit dan dikembalikan pada tekanan normal selama periode tersebut. Setelah itu dikeringkan pada temperatur 600C dan digiling hingga halus. Hasil penggolahan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Analisis Asam-asam amino dan Nitrogen pada Tepung bulu Terolah (gr/16 nitrogen)*

Asam Amino T.bulu tanpa diolah T.Bulu dg “Pemasakkan” Bertekanan
Lysine 2.22 2.08
Methionin 0.83 0.72
Cystine 9.02 6.29
Methionin+Cystine 9.85 7.01
Asam Aspartat 6.71 6.58
Threonine 5.21 4.84
Serine 12.52 11.81
Asam Glutamat 12.11 11.91
Glycine 7.92 7.54
Alanine 4.29 4.30
Valine 7.97 7.25
Isolucine 5.25 4.82
Leucine 8.40 8.05
Tyrosine 3.11 2.48
Phenylalanine 4.91 4.61
Histidine 0.80 0.72
Arginine 7.08 6.15
Tryptophan 0.86 0.73
Nitrogen, % B.K 15.43 15.38

Sumber: Pond dan Maner (1974)

Pengolahan Secara Kimiawi / Hidrolisis

Pengolahan secara kimiawi diolah dengan proses NaOH 6 % dan dikombinasikan dengan pemanasan tekanan memberikan nilai kecernaan 64,6 %. Lama pemanasan juga dapat meningkatkan kecernaan pepsin tepung bulu ayam hingga 62,9 %. Namun, pemanasan yang terlampau lama dapat merusak asam amino lisin, histidin dan sistin serta menyebabkan terjadinya reaksi kecoklatan (browning reaction). Kandungan nutrisi tepung bulu terolah tertera pada Tabel 2 di bawah ini.

Tabel 2. Kandungan Nutrisi Tepung Bulu Terolah/ Terhidrolisa
Nutrisi Kandungan
Protein Kasar, % 85
Serat Kasar, % 0,3 – 1,5
Abu, % ,0 – 3,5
Calsium, % 0,20 – 0,40
Phospor, % 0,20 – 0,65
Garam, % 0,20
Sumber: McDonald et al (1989) dan Pond and Manner (1974)

Tehnik pengolahan kombinasi antara perlakuan fisik dan kimia merupakan teknik pengolahan yang saat ini bayak dipakai oleh industri TBA. Sejauh ini penggunaan tepung bulu tidak lebih dari 4 % dari total formulasi ransum unggas tanpa membuat produktivitas unggas merosot. Namun penggunaan dengan level yang lebih tinggi sangat diharapkan agar diperoleh ransum yang lebih ekonomis. Semakin baik pengolahannya, maka akan semakin baik pula hasilnya. Untuk itu penelitian-penelitian lebih lanjut sangat diharapkan seperti penggolahan secara enzimatis melalui fermentasi tepung bulu ayam menggunakan berbagai sumber enzim proteolitik.

Kesimpulan
1.Tepung bulu ayam dapat dijadikan sebagai bahan pakan sumber protein hewani di dalam ransum pendamping tepung ikan.
2.Guna meningkatkan penggunaannya perlu penelitian berkaitan dengan pengolahan-penggolahan secara enzimatis dengan memanfaatkan berbagai sumber bakteri proteolitik.
3.Pemanfaatan lebih luas merupakan salah satu strategi dalam mengatasi pencemaran lingkungan yang disebabkan produksi limbah bulu ayam yang terus meningkat.


Sumber Pustaka

Murtidjo, B.A. 1995. Pedoman Meramu Pakan Unggas. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Pond,W.G and J.H. Manner. 1974. Swine Production in Temperate and Tropical Environments. W.H.
Freman and Company. San Fransisco.

Rasyaf, M, 1993. Bahan Makanan Unggas di Indonesia. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.


Yunilas, FP USU Medan

Kamis, 05 Februari 2009

Formulasi Bahan Pelapis Edibel dan Lama Penyimpanan Terhadap Kualitas Daging Sapi

Yunilas, Eniza Saleh, Anwar Mahmud (2007). Formulasi Bahan Pelapis Edibel dan Lama Penyimpanan Terhadap Kualitas Daging Sapi. Dalam: Jurnal Agribisnis Peternakan FP USU. Medan Vol. 3 N0. 1 April 2007 hal. 1-7.

Abstrak : Penelitian ini bertujuan untuk menguji kemampuan lapisan edibel dari asam stearat dan tepung tapioka dan pengaruh lama menyimpan terhadap kualitas daging sapi. Daging yang digunakan adalah daging sapi bagian paha yang dipotong-potong (2cm x 3cm x 4cm). Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap pola faktorial. Faktor I (T) adalah konsentrasi asam stearat dan tepung tapioka yaitu T0 tanpa asam stearat dan tapioka, T1 0.05% asam stearat dan 1 % tepung tapioka, T2 0,1% asam stearat dan 1% tepung tapioka, T3 0.05% asam stearat dan 2% tepung tapioka, T4 0.1% asam stearat dan 2% tepung tapioka. Faktor II (H) adalah lama penyimpanan yaitu H1 penyimpanan 3 hari, H2 penyimpanan 6 hari H3 penyimpanan 9 hari, disimpan pada lemari pendingin suhu - 6 0C. Parameter yang diamati adalah kadar air, kadar protein dan kadar lemak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelapis bahan edibel (asam stearat dan tepung tapioka) dan lama penyimpanan berpengaruh sangat nyata (P<0.01)>