Kamis, 25 Juni 2009

Kandang Sistem Closed House (Kandang Tertutup) Pada Unggas

Kandang sistem closed house adalah kandang tertutup yang menjamin keamanan secara biologi (kontak dengan organisme lain) dengan pengaturan ventilasi yang baik sehingga lebih sedikit stress yang terjadi pada ternak.


Tujuan membangun kandang closed house adalah:

1. Untuk menyediakan udara yang sehat bagi ternak (sistem ventilasi yang baik)
yaitu udara yang menghadirkan sebanyak-banyaknya oksigen, dan mengeluarkan sesegera
mungkin gas-gas berbahaya seperti karbondioksida dan amonia.

2. Menyediakan iklim yang nyaman bagi ternak.
Untuk menyediakan iklim yang kondusif bagi ternak dapat dilakukan dengan cara:
mengeluarkan panas dari kandang yang dihasilkan dari tubuh ayam dn lingkungan luar,
menurunkan suhu udara yang masuk serta mengatur kelembaban yang sesuai.
Untuk menciptakan iklim yang sejuk – nyaman maka bagi ayam harus dikondisikan chilling
effect (angin berembus), alat yang digunakan seperti kipas angin (blower). Bila chilling effect
tidak mampu mencapai iklim yang diiginkan terutama pada daerah yang terlampau panas
maka dapat digunakan cooling system. Yaitu sistem pendingin dengan mengalirkan air pada
alat-alat yang berupa cooling pad, cooling net stsu cell deck.

3. Meminimumkan tingkat stress pada ternak.
Agar tingkst stress pada ayam lebih minimun maka dapat dilakukan dengan cara
mengurangi stimulasi yang dapat menyebabkan stress, dengan cara mengurangi kontak
dengan manusia (misalnya dengan feeder dan drinker otomatis, vaksinasi dengan spray dll),
meminimumkan cahaya dan lain-lain.


Didalam sebuah kandang ternak unggas ini harus diperhatikan kualitas udaranya. Kualitas udara dilihat dari kandungan oksigen, karbondioksida, karbonmonoksida dan amoniak dengan batasan tertentu. Adapun batasan yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut:

Oksigen > 19.6%

Karbondioksida < 0.3%

Karbonmonoksida < 10 ppm

Amonia < 10 ppm


Bila kondisi kandang tidak sesuai dengan ketentuan diatas maka ventilasi yang kurang harus ditingkatkan.


* Kelembaban relatif >< 45 – 65%
* Kecepatan angin setelah 28 hari >< 350 – 500 FPM (Feet Per Minute)


Kecepatan angin diatas 500 FPM tidak ekonomis dan tidak berpengaruh positif bagi performa ayam.


Closed house dapat bervariasi tergantung pada lingkungan dan kemampuan finansial peternak. Secara umum ragam yang ada di lapangan terdiri dari::
1. Sistem Tunnel : menggunakan fan dan tirai tanpa cooling system.
2. Full closed house : ada fan, cooling system dan tirai/penutup dinding samping.
3. Full otomatic closed house.


Pada sistem 1 dan 2 umumnya menggunakan alat pakan dan minum manual atau tempat pakannya saja manual sementara air minum menggunakan bell drinker.

Pada sistem 3, closed house dengan perlengkapan serba otomatis termasuk alarm sistemnya.

Struktur umum kandang sistem terbuka (Closed house) dan perlengkapanya:
1. Bagunan kandang: baik bagunan baru maupun renovasi kandang.
2. Kipas/fan: dapat terdiri dari exhaust fan, blower fan, ceiling/roof fan ataupun wall fan.
3. Material cooling dan perlengkapannya: celpad/evaporative pad, material cooling lainnya
ataupun fogging system.
4. Dinding kandang: dapat berupa solid wall, tirai/curtain system dan celing material.
5. Filter cahaya/light filter/light trap
6. Air inlet
7. Lighting system
8. Control panel + electrical system

sumber acuan: Majalah Poultry Indonesia

Rabu, 24 Juni 2009

Isi Rumen Sapi Sebagai Pakan Non Konvensional Sumber Energi Pada Unggas

Isi rumen merupakan salah satu limbah rumah potong hewan yang belum dimanfaatkan secara optimal bahkan ada yang dibuang begitu saja sehingga menimbulkan pencemaran lingkungan. Limbah ini sebenarnya sangat potensial bila dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak karena isi rumen disamping merupakan bahan pakan yang belum tercerna juga terdapat organisme rumen yang merupakan sumber vitamin B.

Kandungan zat makanan yang terdapat pada isi rumen sapi meliputi: air (8,8%), protein kasar (9,63%), lemak (1,81%), serat kasar (24,60%), BETN (38,40%), Abu (16,76%), kalsium (1,22%) dan posfor (0,29%) dan pada domba meliputi: air (8,28%), protein kasar (14,41%), lemak (3,59%), serat kasar (24,38%), Abu (16,37%), kalsium (0,68%) dan posfor (1,08%) (Suhermiyati, 1984). Widodo (2002) menyatakan zat makanan yang terkandung dalam rumen meliputi protein sebesar 8,86%, lemak 2,60%, serat kasar 28,78%, fosfor 0,55%, abu 18,54% dan air 10,92%. Berdasarkan komposisi zat yang terkandung didalamnya maka isi rumen dalam batas tertentu tidak akan menimbulkan akibat yang merugikan bila dijadikan bahan pencampur ransum berbagai ternak.

Di dalam rumen ternak ruminansia (sapi, kerbau, kambing dan domba) terdapat populasi mikroba yang cukup banyak jumlahnya. Cairan rumen mengandung bakteri dan protozoa. Konsentrasi bakteri sekitar 10 pangkat 9 setiap cc isi rumen, sedangkan protozoa bervariasi sekitar 10 pangkat 5 - 10 pangkat 6 setiap cc isi rumen (Tillman, 1991). Beberapa jenis bakteri/mikroba yang terdapat dalam isi rumen adalah (a) bakteri/mikroba lipolitik, (b) bakteri/mikroba pembentuk asam, (c) bakteri/mikroba amilolitik, (d) bakteri/mikroba selulolitik, (e) bakteri/mikroba proteolitik Sutrisno dkk, 1994)

Jumlah mikroba di dalam isi rumen sapi bervariasi meliputi: mikroba proteolitik 2,5 x 10 pangkat 9 sel/gram isi rumen, mikroba selulolitik 8,1 x 10 pangkat 4 sel/gram isi rumen, amilolitik 4,9 x 10 pangkat 9 sel/gram isi, mikroba pembentuk asam 5,6 x 10 pangkat 9 sel/gram isi, mikroba lipolitik 2,1 x 10 pangkat 10 sel/gram isi dan fungi lipolitik 1,7 x 10 pangkat 3 sel/gram isi (Sutrisno dkk, 1994). Mikroorganisme tersebut mencerna pati, gula, lemak, protein dan nitrogen bukan proein untuk membentuk mikrobial dan vitamin B.
Berdasarkan hasil penelitian Sanjaya (1995), penggunaan isi rumen sapi sampai 12% mampu meningkatkan pertambahan bobot badan dan konsumsi pakan ayam pedaging dan mampu menekan konversi pakan ayam pedaging.

Daftar acuan:
Sanjaya, L. 1995. Pengaruh Isi Rumen Sapi Terhadap PBB, Konsumsi, Konversi Terhadap Ayam Pedaging. Skripsi Fakultas Peternakan Universitas Muhammadiyah, Malang.

Suhermiyati, S. 1984. “Pengujian Cobaan Bahan Limbah RPH dan Ragi Makanan Ternak serta Kombinasinya dalam Ransum Ayam Pedaging”. Thesis Fakulta Peternakan IPB, Bogor.

Sutrisno,C.L et al. 1994. Proceeding Seminar Nasional Sains dan Teknologi Peternakan Pengolahan dan Komunikasi Hasil-Hasil Penelitian Ternak. Ciawi.

Tillman,Allen D dkk. 1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Yogyakarta, Gajah Mada University Press.

Widodo, W. 2002. Nutrisi dan Pakan Unggas Kontekstual. Fakultas Peternakan-Perikanan Universitas Muhammadiyah, Malang.

Senin, 08 Juni 2009

Potensi Pelepah Daun Kelapa Sawit Sebagai Pakan Ternak

Perkebunan kelapa sawit merupakan tanaman tropik yang penting dan berkembang pesat di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Luas perkebunan sawit di Indonesia mencapai 4.686.000 ha dengan produksi 5.456.700 ton pada tahun 2004 (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2004). Jumlah ini akan terus meningkat dengan bertambahnya permintaan dunia, akan minyak sawit (CPO).
Produksi tandan buah segar (TBS) akan makin bertambah pada masa mendatang seiring dengan makin luasnya area perkebunan kelapa sawit yang berproduksi. Menurut Aritonang (1986), produksi tandan buah segar kelapa sawit per hektar per tahun sebesar 12,60 - 27,00 ton, bungkil inti sawit sebesar 0,30 – 0,60 dan lumpur minyak sawit sebesar 0,60 - 1,40.

Tanaman kelapa sawit menghasilkan 3 jenis limbah utama yang dapat digunakan sebagai bahan pakan ternak yaitu pelepah daun kelapa sawit, lumpur minyak sawit dan bungkil inti sawit. Limbah ini cukup berlimpah sepanjang tahun, namun penggunaannya sebagai ransum ternak belum maksimal, apalagi pada peternakan rakyat.

Pelepah daun kelapa sawit merupakan hasil sampingan dari pemanenan buah kelapa sawit. Bila dilihat dari segi ketersediaannya maka pelepah dan daun kelapa sawit sangat potensial digunakan sebagai pakan ternak. Sesuai pernyataan Devendra (1990), siklus pemangkasan setiap 14 hari, tiap pemangkasan sekitar 3 pelepah daun dengan berat 1 pelepah mencapai 10 kg. Satu ha lahan ditanami sekitar 148 pohon sehingga setiap 14 hari akan dihasilkan + 4.440 kg atau 8.880 kg/bulan/ha. Kandungan bahan kering dari pelepah daun sawit sebesar 35% sehingga jumlah bahan kering pelepah sawit/bulan/ha sebesar 3.108 kg.

Hasil analisis Laboratorium Ilmu Nutrisi Makanan Ternak, Departemen Peternakan FP USU (2000), pelepah daun kelapa sawit mengandung 6,50% protein kasar, 32,55% serat kasar, 4,47% lemak kasar, 93,4 bahan kering dan 56,00% TDN. Hasil analisis memperlihatkan bahwa kandungan protein kasar pelepah daun kelapa sawit cukup rendah yaitu sebesar 6,5 % dengan serat kasar yang cukup tinggi sebesar 32,55%. Kandungan serat kasar yang cukup tinggi akan mempengaruhi kecernaan bahan pakan pada ternak.

Menurut Hassan dan Ishida (1992), dari daun kelapa sawit didapat hijauan segar yang dapat diberikan langsung ke ternak baik yang berbentuk segar maupun yang telah diawetkan seperti dengan melakukan silase maupun amoniasi. Perlakuan dengan silase memberi keuntungan, karena lebih aman dan dapat memberi nilai nutrisi yang lebih baik dan sekaligus memanfaatkan limbah pertanian. Keuntungan lain dengan perlakuan silase ini adalah pengerjaannya mudah dan dapat meningkatkan kualitas dari bahan yang disilase. Jafar dan Hassan (1990) menyatakan, pelepah daun kelapa sawit dapat diproses dalam bentuk pellet dan diawetkan dalam bentuk silase.

Dari analisa kimia dinyatakan bahwa daun kelapa sawit tersusun dari 70 % serat dan 22% karbohidarat yang dapat larut dalam bahan kering. Ini menunjukkan bahwa daun kelapa sawit dapat diawetkan sebagai silase dan telah diindikasikan bahwa kecernaan bahan kering akan bertambah 45% dari hasil silase daun kelapa sawit (Ishida dan Hassan, 1992).

Daftar acuan:
Aritonang, D. 1986. Perkebunan Kelapa Sawit Sebagai Sumber Pakan Ternak Di Indonesia. Jurnal Penelitian Dan Pengembangan Pertanian V(4): 93−99.

Devendra,C. 1990. Roughage Resources for Feeding in The Asean Region, The First Asean Workshop on Technology of Animal Feed Production Utility Food Waste Material.

Direktorat Jenderal Perkebunan. 2004. Statistik Perkebunan Kelapa Sawit dan Coklat Indonesia. Jakarta.

Ishida, M. And Hassan 1992. Effect Of Urea Treatmeant Level On Nutritive Value Of Oil Palm Fronds Silage In Kedah Kelantan Bulls, Animal Science Congress, Bangkok, Thailand.

Jafar, M.D. Dan Hasan. 1990. Optimum Steaming Condition Of Oil Palm Press Fiber For Feed Utilization Processing And Utilition Of Oil Palm By Product For Ruminant, Mardi-Tarc Collaborative Study, Malaysia.