Sabtu, 11 April 2009

Manajemen Kesehatan Ternak Potong

Pengendalian Penyakit
1. Program pencegahan penyakit dan kontrol ternak dikandang.
2. Program pencegahan penyakit dan kontrol ternak di ranch (padang penggembalaan).

Program Pencegahan Penyakit Dan Kontrol Ternak Dikandang

Pengawasan penyakit seharusnya lebih mudah pada pemeliharaan secara intensif dibanding ekstensif, namun secara umum masalah-masalah yang dihadapi adalah identik.

Masalah-masalah yang berhubungan dengan penggelolaan sapi pedaging secara intensif:

1. Walaupun sapi tidak digembalakan, pengawasan terhadap caplak masih sangat perlu pada daerah yang belum bebas caplak dan jangan dilalaikan.

2. Pengawasan terhadap parasit dalam, juga masih diperlukan terutama pada ternak yang lebih muda, dimana banyak parasit yang mungkin terdapat pada hijauan yang dipotong di lapangan.

Program Pencegahan Penyakit Dan Kontrol Ternak Di Ranch

Masalah-masalah yang berhubungan dengan penggelolaan sapi di ranch:
· Penyakit mulut dan kuku
·Penyakit-penyakit wabah dan beberapa parasil eksternal dapat diatasi dengan program pemberantasan berencana, perbaikan produksi dan distribusi vaksin dan perbaikan makanan serta pengelolaan.
· Pedet muda lebih mudah terserang penyakit pneumonia pada udara yang sangat lembab.
· Perlu adanya program pengendalian caplak di lapangan.

Aspek-Aspek Yang Harus Dikelola Secara Profesional Dalam Upaya Menjaga Kesehatan Ternak Adalah:

1. penyediaan fasilitas kesehatan
§ ruang karantina/isolasi
§ fasilitas dipping/spraying
§ kandang jepit atau notstal

2. tindakan preventif secara umum (terhadap lingkungan).
§ Pastikan areal bebas dari penyakit menular.
§ Pembuatan kandang dan perlengkapan memenuhi syarat kesehatan.
§ Menjaga kebersihan kandang dan perlengkapan.

3. Tindakan preventif secara khusus (terhadap ternak).
§ Memandikan ternak
§ Vaksinasi
§ Isolasi/karantina
§ Potong kuku
§ Pengawasan terhadap pakan
§ Mencukur bulu.

4. Tindakan kuratif (pengobatan).
§ Pada ternak sapi potong
§ Pada ternak kambing/domba.

Adapun aspek-aspek yang harus dikelola secara profesional dalam upaya menjaga kesehatan ternak dapat dijelaskan sebagai berikut:

1). Penyediaan Fasilitas Kesehatan

Dalam perencanaan kandang, fasilitas kesehatan mutlak diperlukan, termasuk minimal seorang ahli dikandang kesehatan. Dalam hal ini bisa dokter hewan atau tenaga laboran (khusus meneliti penyebab penyakit pada ternak).

Fasilitas kesehatan yang penting antara lain:

a. ruang karantina/isolasi
biasanya dilengkapi dengan lampu infra merah. Tujuan memberi suasana hangat dan kering sehingga bibit penyakit tidak tahan/berkembangbiak di tempat tersebut.

b. fasilitas dipping atau spraying
Dipping merupakan kolam dengan kedalaman dan panjang tertentu tergantung jenis ternak. Spraying berupa lorong/ruangan yang dilengkapi shower-shower dibagian atapnya, dapat difungsikan secara otomatis/manual.

c. Kandang jepit atau notstal
Sebagai tempat memberikan perlakuan kesehatan pada ternak dapat berupa vaksinasi, suntik, penimbangan dll.

2). Tindakan Preventif Secara Umum (Terhadap Lingkungan).

a. pastikan areal peternakan bebas dari penyakit menular. Tindakan : lakukan sanitasi lingkungan secara menyeluruh.

b. pembuatan kandang dan perlengkapan memenuhi syarat kesehatan.
Contoh: cukup ventilasi, tidak lembab, sesuai arah angin dan arah datangnya sinar matahari, tidak tergenang air dan fasilitas pembuangan dan pengolahan limbah dll.

c. menjaga kebersihan kandang dan peralatan. Dengan cara pemakaian densifektan, pembersihan dan pencucian secara rutin.

3).Tindakan Preventif Secara Khusus (Terhadap Ternak).

a. memandikan ternak
Kegiatan memandikan ternak terlihat sepele namun jika tidak ditangani secara rutin kerugian yang diakibatkan cukup besar. Memandikan dalam hal ini tidak hanya dalam arti membersihkan dari kotoran yang melekat dibadan tapi juga sekaligus dilakukan pengobatan eksternal terhadap kuku, parasit, jamur, kudis dll yang sifatnya menggangu kesehatan kulit.

Untuk memandikan ternak sapi ini perlu disediakan fasilitas seperti dipping atau spraying. Dipping merupakan kolam dengan kedalaman dan panjang (ukuran) tertentu tergantung jenis ternak. Sedangkan spraying berupa lorong/ruangan yang dilengkapi shower-shower dibagian atapnya, dapat difungsikan secara otomatis/manual. Biasanya air yang digunakan telah dicampur dengan obat-obatan dalam konsentrasi tertentu sesuai dengan pengobatan apa yang dilakukan.

Masing-masing fasilitas tersebut memiliki kelebihan maupun kelemahan:

Kelebihan fasilitas dipping adalah pengobatan lebih sempurna karena air yang mengandung obat-obatan dalam konsentrasi tertentu mencapai bagian tubuh yang tersembunyi, namun kelemahannya konsentrasi obat-obatan berkurang bila hujan turun.

Sedangkan kelebihan fasilitas spraying adalah air yang mengandung obat-obatan konsentrasinya dapat dipertahankan namun pengobatan kurang sempurna karena air yang mengandung obat-obatan tersebut tidak mencapai bagian tubuh yang tersembunyi.

Kegiatan memandikan ternak dilakukan dengan caranya ternak digiring masuk ke dalam kolam (dipping) atau ke lorong (spraying). Dipping/spraying ini tata letaknya berada di dekat pintu ke arah yard (exercise). Setelah dimandikan ternak dibiarkan beberapa saat berjalan-jalan bebas untuk mengeringkan badan di areal terbuka kena matahari pagi, dan kegiatan memandikan ternak pada pagi hari, 1 – 2 minggu sekali tergantung keperluan.

b. Vaksinasi
vaksinasi ini untuk menciptakan kekebalan tubuh terutama terhadap penyakit-penyakit menular.
Contoh:
1. Penyakit antrax (radang limpa)
2. Penyakit SE (septichaemia epizootica/penyakit ngorok).
3. Penyakit brucellosis
4. Penyakit puru, dakangan

Ini belum termasuk vaksin yang biasanya diberikan saat ternak baru tahap penyapihan.
Contoh: para influensa 3 (PI-3)
BVO (bovine virus diare)
Clostridial infections dsb

c. isolasi/karantina
terutama diberlakukan bagi ternak-ternak yang baru di datangkan dari luar peternakan, baik sapi bakalan maupun bibit jantan/betina.
Ini dilakukan untuk mencegah masuknya bibit penyakit yang bisa terbawa oleh ternak sehingga perlu pemeriksaan terlebih dahulu dengan masa karantina + 3 minggu. Dilakukan selama 3 minggu karena umumnya masa inkubasi kuman tampak gejala-gejalannya setelah 2 mingggu. Kalau dalam 2 minggu aman maka ternak baru bisa dicampur dengan ternak lain di kandang pemeliharaan.

d. potong kuku
potong kuku dilakukan untuk mencegah penyakit foot root (busuk kuku) yang bakteri penyebabnya senang tinggal dikotoran yang ada disela-sela kuku.
§ Jika kuku panjang maka rongga yang dibagian bawah kuku semakin luas untuk dipenuhi kotoran sehingga menjadi tempat yang nyaman bagi bakteri.
§ Kemungkinan luka akibat kuku patah pada ternak yang kukunya panjang.
§ Jalan pincang.

e. Pengawasan terhadap pakan
banyak penyakit yang timbul akibat kurang pengawasan pakan yang diberikan. Apalagi sistem pasture yang hijauanya mencari sendiri. Disamping penyakit akibt defisiensi suatu mineral/vitamin juga misalnya:
§ Kembung perut (tympani) yaitu penyakit yang disebabkan akibat terlalu banyak makanan hijauan segar muda/pada pagi hari. Gejalanya ternak gelisah, lambung kiri bengkak membesar, tidak mau makan menyebabkan kematian.
§ Kejang rumput (grass titani) yaitu akiba makan hijauan muda berlebihan sehingga defisiensi mineral Mg.
§ Keracunan yaitu akibat beberapa jenis hijauan, pakan/konsentrat berjamur.

f. mencukur bulu
mencukur bulu hanya khusus dilakukan pada
ternak domba, berkaitan dengan pengobatan secara dipping/spraying yang akan menyakitkan apabila bulu domba sudah mulai mengumpal. Dari segi ekonomis penampilan domba bersih, bulunya tipis akan kelihatan lebih gemuk, nilai jual akan tinggi.

4). Tindakan kuratif (pengobatan)


Hal ini dilakukan apabila ternak sudah terserang penyakit. Umumnya penyakit-penyakit yang munculnya tiba-tiba dan mematikan, atau penyakit yang tidak mematikan tapi dapat menurunkan bobot badan secara dratis perlu diwaspadai.
Banyak sekali penyakit yang menyerang ternak sapi, kambing domba tetapi yang perlu diwaspadai antara lain:

a. Penyakit jembrana (rawa dewa) ...sapi bali’
Gejala:
§ Demam tinggi pada umur 3 – 4 tahun
§ Tidak nafsu makan
§ Pengeluaran air liur dan inggus berlebihan
§ Permukaan kulit timbul bintik-bintik merah yang sulit hilang

Penyebab :
Virus
Penyakit tidak mematikan tetapi dapat menimbulkan keguguran bila menyerang ternak bunting. Penurunan berat badan akibat nafsu makan menurun.

Pengobatan: Tetrasilin dan kloromfenikol

b. penyakit ingusan
gejala:
§ Menyerang semua umur
§ Demam tinggi
§ Ingus keluar berlebihan
§ Kornea mata keruh, penglihatan terganggu
§ Dapat menyebabkan kematian bila parah

Penyebab:
Virus herves
Belum ada pengobatan khusus sehingga tindakan preventif lebih diutamakan.

c. penyakit ngorok
gejala:
§ lidah menjulur keluar, air liur berbuih
§ suhu badan tinggi, sulit bernafas
§ suara ngorok
§ leher dan dada membengkak
§ penyakit mematikan

d. antrax (radang limpa)
penyebabkan:
§ spora bacillus antrasis yang mudah menyebar
§ mudah menular pada manusia lewat daging yang dimakan atau darah ternak yang menderita antrak.

Pengobatan:sulit dilakukan karena sering terlambat diketahui.

e. cacing hati
menyerang sgala jenis ternak
gejala:
§ ternak lesu, mata membengkak, berat badan cepat menurun/kurus.
§ Bulu kasar/kusam
§ Dapat menyebabkan kematian

Penyebab:
Cacing basiola sp (F.hepaica)

Pengobatan:
§ Peperazin
§ Albandazole oral
§ Valbazen
§ Nitrocymic suntik
§ Dovanile

Penyakit pada ternak kambing/domba antara lain:

a. Penyakit kudis, kurap atau gudik (scabies).

Penyebab:
Parasit kulit

Gejala:
§ Gejala awal ternak mengosok-gosok tubuh ke benda-benda sekitarnya.
§ Kulit menebal dan kaku, terdapat kerak-kerak dipermukaan kulit dan terjadi kerontokkan bulu.

Pengobatan:
Pemberian obat suntik ivomec.

b. penyakit belatung (myasis)
penyebab:
luka tidak ditutup perban terinfeksi larva/belatung.

Gejala:
§ Terdapat larva lalat/belatung dibagian tubuh yang luka

Pengobatan:
§ Belatung yang terlihat diangkat dan yang tidak terlihat dibasmi dengan insektisida atau obat gusaneks.

c. perut kembung/tympani

penyebab:
§ Kegagalan tubuh ternak dalam mengeluarkan gas yang berasal dari proses pencernaan di dalam lambung.

Gejala:
Ternak gelisah, sulit bernafas

Pengobatan:
§ Usahakan ternak tetap dalam keadaan berdiri.
§ Diberi minum minyak kelapa 100 – 300 ml, perut dipijat-pijat secara perlahan.
§ Dalam keadaan parah langkah darurat dengan penusukan pada bagian perut yang kembung (10 – 15 cm dibawah tulang belakang dan pertengahan tulang rusuk dan tulang panggul)

d. penyakit cacingan dll.

*Yunilas. Staf Pengajar Fak.Pertanian, Prodi Peternakan, USU - Medan

Kamis, 09 April 2009

Penyembelihan Ternak

Penyembelihan ternak secara halal sudah merupakan salah satu persyaratan penyembelihan ternak yang harus dilakukan di rumah-rumah potong hewan dan unggas (RPH dan RPU) yang ada di Indonesia. Kehalalan dan kethoyiban (keamanan dan kesehatan) produk pangan hewani sudah merupakan kebutuhan umat muslim apalagi di negara kita sebagian besar beragama Islam. Pemerintah berupaya memberi perlindungan pada konsumen melalui penyediaan produk pangan asal hewan yang ASUH (Aman, Sehat, Utuh dan Halal).

Dengan kesadaran yang ada, masyarakat konsumen makin menuntut jaminan akan keamanan dan kehalalannya melalui Program ASUH (Aman, Sehat, Utuh dan Halal).
  • Aman: tidak mengandung penyakit dan residu yang dapat menyebabkan penyakit/gangguan kesehatan pada manusia.
  • Sehat: memiliki zat-zat yang berguna bagi kesehatan dan pertumbuhan tubuh.
  • Utuh : tidak dicampur dg bagian lain dari hewan tersebut atau bagian dari hewan lain.
  • Halal : dipotong dan ditangani sesuai syari'at agama Islam.

Ada Beberapa Aspek Yang Perlu Diperhatikan Dalam Penyemblihan Halal

  1. Aspek ternak/hewan yang akan disembelih.

  2. Aspek penyembelih/orang yang menyembelih

  3. Aspek teknis penyembelihan

*Aspek ternak/hewan yang akan disembelih:

  1. Ternak harus termasuk dalam klasifikasi hewan yang boleh disembelih dan halal dikonsumsi berdasarkan syari'at Islam.

  2. Hewan dalam kondisi sehat dan bersih.

  3. Diistirahatkan sebelum hewan disembelih.

*Aspek penyembelih/penjagal/modin:

  1. Seorang muslim yang taat

  2. Sudah dewasa

  3. Memiliki pengetahuaan tentang hewan yang halal dan haram, untuk disembelih.

  4. Memiliki pengetahuan tentang cara penyembelihan halal.

*Aspek teknis penyembelihan halal:

  1. Hewan harus dalam keadaan betul-betul hidup dan sehat saat hendak disembelih.

  2. Membaca basmalah sebelum penyembelihan.

  3. Mengunakan pisau yang tajam, bersih dan tidak berkarat.

  4. Memotong vena (pembuluh darah/wadajain), trachea (saluran pernafasan/hulqum) dan saluran makanan (mar'i) dengan sekali potong/tekan tanpa diangkat dari leher.

  5. Setelah disembelih hewan digantung agar darah sesempurna mungkin keluar. Hal ini disebabkan karena darah merupakan media yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme dan darah merupakan bahan yang haram untuk dikonsumsi.

Mengapa hanya hewan sehat yang disembelih?

  1. Untuk mendapatkan daging yang aman, sehat dan layak/etis untuk dikonsumsi.
  2. Untuk menghindari konsumen dari penyakit-penyakit yang ditularkan dari hewan ke manusia (zoonosis) dan penyakit yang ditularkan dari produk pangan asal hewan (food borne disease) yang mungin terjadi.

Mengapa hewan perlu diistihahatkan?

  1. Untuk menghindari terjadinya stress pada ternak yang akan dipotong. Stress pada ternak yang akan dipotong dapat mengakibatkan pH daging tinggi. Kondisi ini memberi peluang bakteri dan mikroorganisme lain tumbuh subur sehingga mempercepat kerusakan daging, ditandai dengan warna daging yang gelap dan berlendir.
  2. Perlakuan pemberian istirahat yang cukup sebelum ternak dipotong merupakan manifestasi dari rasa menghargai terhadap sesama makhluk dan kesejahteraan hewan.

Mengapa perlu menggunakan pisau tajam?

  • Penyembelihan menggunakan pisau tajam bertujuan untuk mempercepat berakhirnya rasa sakit yang diderita ternak tersebut sebagai manifestasi dari kesejahteraan hewan.

Mengapa ternak perlu digantung setelah disembelih?

  • Penggantungan bertujuan untuk memberi peluang agar darah sebanyak mungkin cepat keluar, mengingat darah merupakan media yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme dan darah merupakan bahan yang haram untuk dikonsumsi.

Beberapa hal yang dilarang dalam penyembelihan:

  1. Perlakuan hewan ternak sebelum disembelih; pemberian air minum yang berlebihan dengan tujuan meningkatkan berat badan (stunning), pemotongan kaki-kaki ternak saat ternak masih hidup dengan tujuan memudahkan penyembelihan, penusukkan jantung saat ternak masih hidup dengan tujuan mempercepat pengeluaran darah/kematian, penyembelihan ternak dengan cara digantung dengan tujuan memudahkan penyembelihan dan pengeluaran darah.
  2. Pada proses penyimpanan dan pengangkutan daging harus terpisah dari daging babi.
Sumber: Direktorat Kesmavet Ditjen Bina Produksi Peternakan Departemen Pertanian





Senin, 16 Februari 2009

Pengaruh Suplementasi Mineral (Na, Ca, P, Cl) Dalam Ransum Terhadap Produksi Telur Puyuh (Cortunix-Cortunix Japonica)

Yunilas, Zulfikar Siregar dan Noven Wenthy NS (2007). Pengaruh suplementasi mineral (Na, Ca, P, Cl) dalam ransum terhadap produksi telur puyuh (Cortunix-cortunix japonica). Dalam: Jurnal Agribisnis Peternakan FP USU. Medan Vol. 3 N0. 2 Agustus 2007. hal. 61 – 65.

Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh suplementasi mineral (Na, Ca, P, Cl) dalam ransum terhadap konsumsi ransum, konversi ransum, produksi telur puyuh (Cortunix-cortunix japonica). Rancangan yang digunakan adalah rancangan acaklengkap (RAL) dengan 5 perlakuan dan 4 ulangan, setiap ulangan terdiri dari 3 ekor puyuh betina sehingga jumlah keseluruhan 60 ekor. Perlakuan terdiri dari R0 = Kontrol (pakan produksi Charoen Pokhpand Indonesia), R1 = R0 + 37,5 g Ca + 0.00035 g Na, R2 = R0 + 75 g Ca + 0.00070 g Na, R3 = R0 + 10 g P + 0.00015 g Cl dan R4 = R0 + 20 g P + 0.00030 g Cl. Parameter yang diamati meliputi konsumsi ransum, konversi ransum, dan produksi telur. Berdasarkan analisis keragaman diperoleh hasil bahwa suplementasi mineral (Na, Ca, P, Cl) dalam ransum tidak berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap konsumsi ransum, konversi ransum, produksi telur puyuh (Cortunix-cortunix japonica). Walaupun suplementasi mineral (Na, Ca, P, Cl) dalam ransum memberi hasil tidak berbeda nyata, namun pada perlakuan R2 (R0 + 75 g Ca + 0.00070 g Na) menunjukan hasil lebih baik dari pada perlakuan lainnya yaitu produksi telur cenderung meningkat dan konversi ransum cenderung menurun.

Kata kunci: suplementasi mineral, produksi telur, puyuh

Pendahuluan

Puyuh merupakan salah satu komoditi unggas yang semakin populer di masyarakat. Hal ini terbukti dengan banyaknya masyarakat yang berminat untuk memelihara puyuh dan meningkatnya masyarakat yang mengkonsumsi produk-produk yang dihasilkan dari ternak puyuh karena dinilai memiliki kandungan protein yang tinggi, terutama telur yang merupakan produk utama dari puyuh.Secara garis besar yang mempengaruhi produksi telur adalah faktor genetik, pakan, kualitas ransum, konsumsi ransum, keadaan kandang, temperatur, penyakit dan stress (Yasin, 1988). Rasyaf (1995) juga mengemukakan bahwa faktor ransum sangat perlu diperhatikan terutama zat-zat yang terkandung dalam ransum yang diberikan karena dapat mempengaruhi produksi telur.

Kenyataannya dalam penyusunan ransum yang sering diperhatikan adalah kandungan energi dan proteinnya. Selain energi dan protein kandungan mineral dalam ransum juga perlu diperhatikan. Aggorodi (1985) menyatakan bahwa mineral ebagai zat makanan diperlukan tubuh sama halnya seperti asam amino, energi, vitamin, asam lemak. Mineral digunakan untuk propses metabolisme dalam tubuh. Defisiesi suatu mineral jarang menyebabkan kematian tetapi berpengaruh langsung terhadap kesehatan ternak dan berdampak pada penurunan produksi telur sehingga dapat menyebabkan kerugian besar. Salah satu upaya yang diusahakan adalah dengan suplementasi mineral makro, mineral mikro dan mineral langka dalam ransum.

Mineral makro seperti Ca, P, K, Cl, S, Na, dan Mg dan mineral mikro seperti Fe, I, Zn, Cu, Mn, Co, Se dan Mo diperlukan oleh ternak dalam jumlah cukup. Kekurangan mineral dalam ransum dapat berpengaruh pada pertumbuhan puyuh, penurunan produksi telur dan kanibalisme yang dapat menurunkan produksi secara keseluruhan (McDonald, et al., 1995).
Tillman (1991) menyatakan bahwa absorpsi diantara zat-zat mineral pada kenyataaanya terjadi persaingan. Suplementasi beberapa mineral serigkali menganggu penyerapan mineral lainnya, sebagai contoh siplementasi Ca yang berlebihan di dalam ransum dapat menekan absorpsi mineral zinkum (Zn) padahal Zn berperan besar dalam proses metabolisme tubuh, sistem tubuh dan defisiensi Zn dapat mengakibatkan gangguan pada pemasakkan gonad pada proses reproduksi seperti pembentukan telur.

Natrium adalah merupakan kation utama air laut maupun cairan ekstrasellulae. Hewan yang mendapat ransum yang defisiensi natrium, tidak hanya terganggu pertumbuhannnya, tetapi tulang-tulangnya menjadi lunak, kornea bertanduk, perubahan dalam funsi selullar dan penurunan dalam isi cairan plasma. Pada unggas defisiensi natrium mengakibatkan produksi telur menurun, pertumbuan terhambat dan kanibalisme (Anggorodi, 1995). Wahyu (1997) menambahkan bahwa defisiensi natrium dapat mengurangi penggunaan protein dan energi, menghambat daya reproduksi serta menyebabkan diare dan pengeluaran urin yang banyak sebagai akibat kerusakan ginjal dan adrenal.
Kriteria kecukupan kalsium pada ayam petelur terlihat pada produksi telur, pemanfaatan bahan pakan, kualitas kulit telur dan keadaan dari cadangan kalsium dalam tulang (Georgievskii, et al, 1982). Ca dan P juga sangat berperan bagi pembentukkan tulang-tulang pada puyuh sedang bertumbuh dan berperan pada pembentukkan kulit telur puuh yang sedang berproduksi (Rasyaf, 1984).
Klor merupakan bagian sekresi lambung. Peranan utama klor adalah pengontrol keseimbangan asam dan basa dan mengatur tekanan osmotik. Sejumlah kecil klor disimpan dalam kulit dan jaringan-jaringan bawah kulit. Defisiensi klor pada unggas memperlihatkan gejala-gejala laju pertumbuhan terganggu yang disebabkan nafsu makan berkurang, kematian tinggi, dehidrasi dan kadar klor darah yang menurun (Anggorodi, 1985).

Secara ideal suplementasi mineral harus dilakukan jika kebutuhan mineral untuk ternak tidak terpenuhi dari pakan yang diberikan. Untuk melakukan suplementasi mineral diperlukan pengetahuan mengenai komposisi mineral dari bahan-bahan ransum yang digunakan. Dalam prakteknya, suplementasi mineral dilakukan secara rutinpada ransum yang disusun oleh peternak sendiri maupun secara komersil (pabrik pakan ternak) sebagai jaminan atau untuk antisifasi terhadap berkurangnya ketersedianan mineral dalam ransum (McDowell, 1992).


Bahan dan Metode Penelitian

Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biologi Ternak Jl. Prof. Dr. A. Sofyan No. 3 Departemen Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara selama 8 minggu.

Bahan dan Alat Penelitian
•Burung puyuh betina umur 6 minggu sebanyak 60 ekor.
•Ransum komersil dari PT. Charoen Pokhpand Indonesia.
•Na2CO3, CaCO 3, (NH4)3PO4, NH4Cl sebagai bahan mineral yang akan diteliti.
•Vitamin dan antibiotik seperti Puyuh-Vit dan Ciami
•Vaksin ND
•Formalin untuk fumigasi
•Rodalon untuk densifektan
•Peralatan yang terdiri dari kandang 20 unit ( 60 x 40 x 20 cm/unit), tempat makan dan minum, lampu, timbangan, termometer, hand sprayer.

Metode Penelitian

Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) yang terdiri dari 5 perlakuan dan 4 ulangan.
Perlakuan yang diteliti adalah:
R0 = Kontrol (pakan produksi Charoen Pokhpand Indonesia),
R1 = R0 + 37,5 g Ca + 0.00035 g Na
R2 = R0 + 75,0 g Ca + 0.00070 g Na
R3 = R0 + 10,0 g P + 0.00015 g Cl
R4 = R0 + 20,0 g P + 0.00030 g Cl

Parameter yang diamati

a.Konsumsi ransum (g / ekor / mgg)
Konsumsi ansum dihitung dari jumlah ransum yang diberikan ( gram ) dikurangi dengan sisa ransum
selama seminggu.

b.Produksi telur (%)
Produksi telur dihitung dari perbandingan jumlah telur yang dihasilkan dalam satu minggu dengan
jumlah puyuh betina yang ada dikali seratus persen.

c.Berat Telur (g)
Berat telur ditimbang setiap hari dari perbandingan jumlah seluruh berat telur dengan jumlah
telur/ploat.

d.Konversi Ransum
Konversi ransum dihitung berdasarkan perbandingan konsumsi ransum dengan berat telur yang
dihasilkan selama seminggu.

Hasil Penelitian
Pengaruh suplementasi mineral (Na, Ca, P, Cl) dalam ransum terhadap produksi telur puyuh (Cortunix-cortunix japonica) dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Pengaruh suplementasi mineral (Na, Ca, P, Cl) dalam ransum terhadap produksi telur puyuh
(Cortunix-cortunix japonica)

Perlakuan Konsumsi(g/ekor/mgg) Prod.Telur (%) Berat Telur (gram) Konversi Ransum
R0 176.28 tn 55.10 tn 10.12 tn 1.60 tn
R1 173.46 tn 59.69 tn 9.96 tn 1.58 tn
R2 171.80 tn 67.35 tn 10.02 tn 1.25 tn
R3 170.16 tn 64.46 tn 10.03 tn 1.39 tn
R4 170.69 tn 63.44 tn 10.34 tn 1.29 tn

Minggu, 15 Februari 2009

Pengaruh Pemberian Tepung Daun Kelapa Sawit yang Difermentasi Aspergillus niger Terhadap Karkas Kelinci Lokal Jantan Umur 16 Minggu

Wendi L.Hutajulu dan Yunilas (2007). Pengaruh Pemberian Tepung Daun Kelapa Sawit Yang Difermentasi Aspergillus Niger Terhadap Karkas Kelinci Lokal Jantan Umur 16 Minggu. Dalam: Jurnal Agribisnis Peternakan FP USU. Medan Vol. 3 N0. 2 Agustus 2007.hal. 75 – 79.


Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh pemberian tepung daun kelapa sawit yang difermentasi Asfergillus niger dalam ransum terhadap karkas kelinci lokal jantan umur 16 minggu. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) yang terdiri dari 5 perlakuan dan 5 ulangan, dan setiap ulangan terdiri dari 1 ekor kelinci. Perlakuan tediri dari dari R0 = rumput lapangan + konsentrat tanpa tepung daun kelapa sawit fermentasi, R1 = rumput lapangan + konsentrat dengan 5 % tepung daun kelapa sawit fermentasi, R2 = rumput lapangan + konsentrat dengan 10 % tepung daun kelapa sawit fermentasi, R3 = rumput lapangan + konsentrat dengan 15 % tepung daun kelapa sawit fermentasi, R4 = rumput lapangan + konsentrat dengan 20 % tepung daun kelapa sawit fermentasi. Parameter yang diamati adalah bobot potong, bobot karkas, persentase karkas dan panjang usus. Berdasarkan analisis statistik diperoleh hasil bahwa pemberian tepung daun kelapa sawit yang difermentasi Aspergillus niger tidak berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap bobot potong, bobot karkas, persentase karkas dan panjang usus. Walaupun hasil yang diperoleh tidak berbeda nyata namun pemberian tepung daun sawit yang difermentasi Asfergillus niger sampai level 20% cenderung menurunkan bobot potong, bobot karkas, persentase karkas kelinci lokal jantan umur 16 minggu.

Kata kunci: daun kelapa sawit, asfergillus niger, karkas, kelinci

Selasa, 10 Februari 2009

Imbangan Protein Hewani Dan Nabati Dalam Formulasi Ransum Broiler

Protein adalah zat organik yang mengandung unsur karbon, hidrogen, nitrogen, oksigen, sulfur dan fosfor. Protein merupakan zat makanan utama yang mengandung nitrogen. Protein ini merupakan zat nutrisi yang esensial bagi kehidupan karena merupakan protoplasma aktif dalam semua sel hidup. Untuk memenuhi kebutuhan hidup ayam broiler ada beberapa kandungan zat nutrisi yang perlu diperhatikan antara lain: protein, lemak, karbohidrat, vitamin, dan mineral. Protein sangat penting karena diperlukan untuk memperbaiki jaringan tubuh, pertumbuhan jaringan baru, metabolisme zat-zat vital dalam fungsi tubuh, pembentukan enzim-enzim esensial bagi fungsi tubuh dan hormon-hormon tertentu.

Dalam memformulasi ransum unggas (broiler) disamping memperhatikan imbangan antara protein dan energi ternyata kita perlu juga memperhatikan imbangan protein penyusun ransum itu sendiri. Hal ini disebabkan protein dalam formulasi ransum ada yang berasal dari protein hewani dan protein nabati.

Protein dalam ransum biasanya bersumber dari protein nabati dan protein hewani. Protein hewani lebih unggul dari pada protein nabati karena protein hewani mengandung asam-asam amino esensial yang sempurna dan seimbang. Disamping itu, protein hewani memiliki rantai karbon lebih pendek sehingga lebih mudah dicerna, sedang protein nabati mempunyai rantai karbon yang lebih panjang sehingga lebih sulit dicerna.

Sumber protein hewani yang digunakan dalam formulasi ransum unggas (broiler) umumnya berasal dari tepung ikan karena tepung ikan merupakan sumber asam-asam amino serta calsium, phospor yang baik. Sedangkan sumber protein nabati sebagian besar bersumber dari bungkil kedelai disamping bahan pakan lainnya. Dengan adanya kombinasi dari sumber protein yang berasal dari protein hewani dan nabati diharapkan keseimbangan zat-zat makanan yang dibutuhkan dapat terpenuhi karena adanya saling melengkapi diantara kekurangan tersebut.

Ransum akan mengandung 6 – 9 % atau 1/3 bagian protein hewani (bila penggunaan tepung ikan 10 – 15% dengan kandungan protein 60%) dan sisanya 13 – 16 % protein nabati dari total protein dalam formulasi ransum 22%. Perhitungan ini dilakukan untuk mengetahui pada imbangan berapakah penggunaan protein hewani memberi pertumbuhan (pertambahan bobot badan) yang baik guna mencapai hasil yang lebih ekonomis karena protein sumber hewani harganya lebih mahal dibanding nabati.

Berdasarkan hasil penelitian Yunilas (1998), penggunaan berbagai imbangan protein hewani dengan nabati 5/12 bagian (9,16%) R1; 4/12 bagian (7,33%) R2; 3/12 bagian (5,50%) R3 dan 2/12 bagian (3,66%) R4 dari total protein ransum menunjukkan hasil berpengaruh sangat nyata (P<0 data-blogger-escaped-.01="">

Dari gambaran diatas dapat disimpulkan bahwa dalam memformulasi ransum, tidak hanya ditentukan oleh besarnya persentase protein dalam ransum, akan tetapi sangat ditentukan oleh kandungan asam-asam amino esensial yang seimbang. Untuk itu imbangan protein asal hewani dan nabati sangat menentukan karena dapat saling menutupi kekurangan asam-asam amino esensial yang dibutuhkan oleh tubuh.

Sumber :
Yunilas. 1998. Performan Ayam Broiler yang Diberi Berbagai Tingkat Protein Hewani dalam Ransum. Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung.


Yunilas, FP USU Medan

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/20899/1/agp-apr2005-5.pdf 

Pemanfaatan Solid Dekanter Fermentasi Dan Suplementasi Mineral Zinkum Dalam Ransum Terhadap Karkas Itik Peking Umur 12 Minggu.

Yunilas, Sayed Umar, M.Rahmatsyah (2006) Pemanfaatan Solid Dekanter Fermentasi dan Suplementasi Mineral Zinkum dalam Ransum Terhadap Karkas Itik Peking Umur 12 Minggu. Dalam: Jurnal Agribisnis Peternakan FP USU. Medan Vol. 2 N0. 1 April 2006 hal. 1-5.

Abstrak : Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh solid dekanter fermentasi dan suplemen mineral zinkum dalam ransum terhadap karkas Itik Peking umur 12 minggu. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancanga acak lengkap (RAL) faktorial. Terdiri dari 2 faktor, faktor pertama adalah solid dekanter yang difermentasi (S) terdiri dari 5 level (S0=tanpa solid dekanter, S1=5% solid dekanter, S2=10% solid dekanter, S3=15% solid dekanter, S4=20% solid dekanter) faktor ke dua suplementasi mineral zinkum, terdiri dari 3 level (Z0=tanpa zinkum, Z1=60 mg/kg ransum, Z2=120 mg/kg ransum). Parameter yang diamati adalah bobot hidup, bobot karkas dan persentase karkas. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa pemanfaatan solid dekanter fermentasi, mineral zinkum dan interaksi kedua faktor tersebut tidak berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap bobot hidup, bobot karkas dan persentase karkas itik Peking Umur 12 Minggu.
Kata kunci: solid dekanter, mineral zinkum, bobot hidup, bobot karkas, persentase karkas

Yunilas, FP USU Medan

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/15154/1/agp-apr2006-1.pdf 

Potensi Limbah Bulu Ayam Sebagai Bahan Pakan Alternatif Sumber Protein Hewani Dalam Ransum Unggas Oleh: Yunilas

Pendahuluan

Masalah utama dalam peningkatan produksi ternak unggas adalah penyediaan pakan sumber protein hewani (tepung ikan) yang harganya relatif mahal. Untuk memenuhi kebutuhan tepung ikan Indonesia masih mengimport dari luar negeri karena produk dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan yang ada sehingga harganya sangat mahal dibanding bahan pakan lain. Untuk menekan biaya pakan dan mengefisiensikan pakan diusahakan memanfaatkan limbah pertanian ataupun peternakan.

Salah satu produk pengolahan hasil peternakan yang belum dimanfaatkan secara optimal sebagai bahan pakan ternak adalah bulu ayam. Bulu ayam merupakan limbah peternakan yang dapat dijadikan sebagai bahan pakan alternatif pengganti sumber protein hewani dalam formulasi ransum ayam (unggas). Hal ini disebabkan karena bulu ayam memiliki kandungan protein cukup tinggi. Murtidjo (1995), protein kasar tepung bulu ayam mencapai 86,5% dan energi metabolis 3.047 kcal/kg. Demikian juga menurut Rasyaf (1993), bulu ayam mengandung protein kasar cukup tinggi, yakni 82 – 91 % , kadar protein jauh lebih tinggi dibanding tepung ikan.

Bila dlihat dari segi ketersediaannya, tepung bulu ayam sangat potensial dijadikan sebagai bahan pakan alternatif dalam ransum unggas. Ini didukung oleh jumlah pemotongan ayam yang terus meningkat dari tahun ke tahun sehingga menyebabkan ketersediaan limbah bulu ayam terus meningkat. Demikian juga, bila ditinjau dari kandungan proteinnya maka bulu ayam cukup potensial dijadikan sebagai bahan pakan alternatif sumber protein hewani penganti tepung ikan karena mengandung protein cukup tinggi dan kaya akan asam amino esensial. Namun sebagai bahan pakan alternatif, tepung bulu ayam tidak hanya dilihat dari segi ketersediaannya saja tetapi kandungan nutrisinya apakah mendukung untuk digunakan dalam formulasi ransum unggas secara luas.
Sebagai bahan baku pakan ternak, bulu unggas jarang digunakan oleh pabrik pakan ternak unggas. Walaupun mengandung protein cukup tinggi dan kaya asam amino esensial, tepung bulu mempuyai faktor penghambat seperti kandungan keratin yang digolongkan kepada protein serat. Kandungan protein kasar yang tinggi dalam tepung bulu ayam tersebut tidak diikuti oleh nilai biologis yang tinggi. Hal ini menyebabkan nilai kecernaan bahan kering dan bahan organik pada tepung bulu ayam rendah. Nilai kecernaan yang rendah pada tepung bulu ayam disebabkan oleh kandungan keratin. Keratin merupakan protein yang kaya akan asam amino bersulfur, sistin. Keratin sulit dicerna karena ikatan disulfida yang dibentuk diantara asam amino sistin menyebabkan protein ini sulit dicerna oleh ternak unggas, baik oleh mikroorganisme rumen maupun enzim proteolitik dalam saluran pencernaan pasca rumen pada ternak ruminansia.

Keratin dapat dipecah melalui reaksi kimia dan enzim, sehingga pada akhirnya dapat dicerna oleh tripsin dan pepsin di dalam saluran pencernaan. Sehingga bila tepung bulu ayam digunakan sebagai bahan pakan sumber protein, sebaiknya perlu diolah terlebih dahulu untuk meningkatkan kecernaannya. Nilai biologis tepung bulu ayam dapat ditingkatkan dengan berbagai pengolahan dan pemberian perlakuan yang benar.

Ada beberapa metode pengolahan untuk meningkatkan nilai nutrisi tepung bulu ayam:
1) Perlakuan Fisik Dengan Pengaturan Temperatur Dan Tekanan,
2) Secara Kimiawi Dengan Penambahan Asam Dan Basa (Naoh, Hcl),
3) Secara Enzimatis Dan Biologis Dengan Mikroorganisme,
4) Kombinasi ketiga metode tersebut.

Penggolahan Melalui Perlakuan Fisik dengan Pengaturan Temperatur dan Tekanan

Tepung bulu direbus dalam wajan tertutup dengan tekanan 3,2 atmosfer selama 45 menit dan dikembalikan pada tekanan normal selama periode tersebut. Setelah itu dikeringkan pada temperatur 600C dan digiling hingga halus. Hasil penggolahan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Analisis Asam-asam amino dan Nitrogen pada Tepung bulu Terolah (gr/16 nitrogen)*

Asam Amino T.bulu tanpa diolah T.Bulu dg “Pemasakkan” Bertekanan
Lysine 2.22 2.08
Methionin 0.83 0.72
Cystine 9.02 6.29
Methionin+Cystine 9.85 7.01
Asam Aspartat 6.71 6.58
Threonine 5.21 4.84
Serine 12.52 11.81
Asam Glutamat 12.11 11.91
Glycine 7.92 7.54
Alanine 4.29 4.30
Valine 7.97 7.25
Isolucine 5.25 4.82
Leucine 8.40 8.05
Tyrosine 3.11 2.48
Phenylalanine 4.91 4.61
Histidine 0.80 0.72
Arginine 7.08 6.15
Tryptophan 0.86 0.73
Nitrogen, % B.K 15.43 15.38

Sumber: Pond dan Maner (1974)

Pengolahan Secara Kimiawi / Hidrolisis

Pengolahan secara kimiawi diolah dengan proses NaOH 6 % dan dikombinasikan dengan pemanasan tekanan memberikan nilai kecernaan 64,6 %. Lama pemanasan juga dapat meningkatkan kecernaan pepsin tepung bulu ayam hingga 62,9 %. Namun, pemanasan yang terlampau lama dapat merusak asam amino lisin, histidin dan sistin serta menyebabkan terjadinya reaksi kecoklatan (browning reaction). Kandungan nutrisi tepung bulu terolah tertera pada Tabel 2 di bawah ini.

Tabel 2. Kandungan Nutrisi Tepung Bulu Terolah/ Terhidrolisa
Nutrisi Kandungan
Protein Kasar, % 85
Serat Kasar, % 0,3 – 1,5
Abu, % ,0 – 3,5
Calsium, % 0,20 – 0,40
Phospor, % 0,20 – 0,65
Garam, % 0,20
Sumber: McDonald et al (1989) dan Pond and Manner (1974)

Tehnik pengolahan kombinasi antara perlakuan fisik dan kimia merupakan teknik pengolahan yang saat ini bayak dipakai oleh industri TBA. Sejauh ini penggunaan tepung bulu tidak lebih dari 4 % dari total formulasi ransum unggas tanpa membuat produktivitas unggas merosot. Namun penggunaan dengan level yang lebih tinggi sangat diharapkan agar diperoleh ransum yang lebih ekonomis. Semakin baik pengolahannya, maka akan semakin baik pula hasilnya. Untuk itu penelitian-penelitian lebih lanjut sangat diharapkan seperti penggolahan secara enzimatis melalui fermentasi tepung bulu ayam menggunakan berbagai sumber enzim proteolitik.

Kesimpulan
1.Tepung bulu ayam dapat dijadikan sebagai bahan pakan sumber protein hewani di dalam ransum pendamping tepung ikan.
2.Guna meningkatkan penggunaannya perlu penelitian berkaitan dengan pengolahan-penggolahan secara enzimatis dengan memanfaatkan berbagai sumber bakteri proteolitik.
3.Pemanfaatan lebih luas merupakan salah satu strategi dalam mengatasi pencemaran lingkungan yang disebabkan produksi limbah bulu ayam yang terus meningkat.


Sumber Pustaka

Murtidjo, B.A. 1995. Pedoman Meramu Pakan Unggas. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Pond,W.G and J.H. Manner. 1974. Swine Production in Temperate and Tropical Environments. W.H.
Freman and Company. San Fransisco.

Rasyaf, M, 1993. Bahan Makanan Unggas di Indonesia. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.


Yunilas, FP USU Medan

Kamis, 05 Februari 2009

Formulasi Bahan Pelapis Edibel dan Lama Penyimpanan Terhadap Kualitas Daging Sapi

Yunilas, Eniza Saleh, Anwar Mahmud (2007). Formulasi Bahan Pelapis Edibel dan Lama Penyimpanan Terhadap Kualitas Daging Sapi. Dalam: Jurnal Agribisnis Peternakan FP USU. Medan Vol. 3 N0. 1 April 2007 hal. 1-7.

Abstrak : Penelitian ini bertujuan untuk menguji kemampuan lapisan edibel dari asam stearat dan tepung tapioka dan pengaruh lama menyimpan terhadap kualitas daging sapi. Daging yang digunakan adalah daging sapi bagian paha yang dipotong-potong (2cm x 3cm x 4cm). Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap pola faktorial. Faktor I (T) adalah konsentrasi asam stearat dan tepung tapioka yaitu T0 tanpa asam stearat dan tapioka, T1 0.05% asam stearat dan 1 % tepung tapioka, T2 0,1% asam stearat dan 1% tepung tapioka, T3 0.05% asam stearat dan 2% tepung tapioka, T4 0.1% asam stearat dan 2% tepung tapioka. Faktor II (H) adalah lama penyimpanan yaitu H1 penyimpanan 3 hari, H2 penyimpanan 6 hari H3 penyimpanan 9 hari, disimpan pada lemari pendingin suhu - 6 0C. Parameter yang diamati adalah kadar air, kadar protein dan kadar lemak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelapis bahan edibel (asam stearat dan tepung tapioka) dan lama penyimpanan berpengaruh sangat nyata (P<0.01)>